Lintas Ekonomi Indonesia (1) : Spesialisasi dan Monetasi Nusantara



 Lintas Ekonomi Indonesia (1) : Spesialisasi dan Monetasi Nusantara



Kepulauan nusantara. Jauh sebelum nama Indonesia muncul, kawasan ini terdiri dari sekumpulan satuan-satuan politik – umumnya berbentuk kerajaan – yang memiliki yurisdiksi masing-masing. Nusantara bukanlah kawasan dengan kekuasaan politik tunggal, seperti Tiongkok atau Jepang, sehingga memudahkan bagi siapapun untuk memasuki kawasan ini untuk  berdagang. Para pedagang India, Tiongkok, Arab,
berkumpul di nusantara dan melakukan transaksi perdagangan secara bebas. Mereka hanya tinggal memperhatikan aturan penguasa setempat serta tradisi yang mengakar di masyarakat tersebut. 

Waktu kian berlalu. Dan pasar menentukan siapa yang unggul diantara para pedagang asing tersebut. Keunggulan organisasi, kemajuan teknologi, informasi pasar, menjadi senjata utama bagi para pedagang Eropa untuk mendominasi pasar di nusantara ini. 
Dalam perkembangannya, nafsu untuk menguasai membuat para pedagang Eropa melakukan politik inperialisme dengan menggunakan keunggulan organisasi dan militernya untuk menguasasi teritorial ini. Keingginan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar daripada perdagangan secara biasa, menjadi salah satu alasan di kemudian hari memunculkan kongsi dagang Belanda, Verenigne Oost-Indische Compagnie (VOC).
Kita lewatkan pembahasan VOC pada sesi ini. Perda
gangan dan pertukaran, sesuai dengan konsep ekonomi, akan menimbulkan spesialisasi produksi antara ekonomi-ekonomi lokal berdasarkan keunggulan komparatif mereka. Kejadian ini digambarkan oleh sejarawan Belanda, Vincent Houben, dalam bukunya Keraton dan Kompeni (2002):
 “...kapas, kain, dan bahan pangan pokok (beras, garam, ikan kering, biji-bijian) dari Jawa diangkut ke pelabuhan-pelabuhan di Sunda san Sumatera Timur serta Sumatera Barat untuk ditukar dengan lada; pedagang Cina dan India membawa produk-produk seperti sutra, kain katun, porselen ke Jawa dan selajutnya dibawa bersama beras ke Maluku untuk ditukar dengan cengkih dan pala; rempah-rempah dan beras dikirim ke Malaka dan sebagian ditukar oleh pedagang Cina dan Indonesia dengan porselen, sutra, logam mulia, atau uang tembaga. Di samping, dan berkaitan dengan, aliran perdagangan segitiga utama antara Selat Malaka, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia ini, ada aliran perdagangan sampingan, misalnya lada Sumatera dikirim ke Bali melalui Jawa untuk ditukar dengan kain katun; pisau dai Belitung dan Karimata ditukar dengan kayu cendana dan damar dari Timor. Lacca (kayu wangi) didatangkan dari Burma Selatan, kesumba (pewarna) dari Martapura di Kalimantan Selatan.”
Seperti yang Houben gambarkan, wilayah-wilayah di nusantara telah mengalami spesialisasi produksi berdasarkan keunggulan komparattif dari masing-masing daerah di Indonesia. Dan interaksi perdagangan antar daerah pun terlihat sangat aktif.
Hal yang kemudian muncul selain spesialisasi adalah motesasi. Monetasi adalah pengunaan uang sebagai alat tukar. Monetasi dan perdagangang berjalan beriringan – perdagangan menimbulkan monetasi, kemudia monetasi memperlancar dan memperluas perdagangan, dan kemudian luasnya perdagangan menuntut kebutuhan akan alat tukar lebih banyak dan lebih kompleks.
Terkait dengan monetasi tersebut, ada berbagai alat tukar yang beredar dan dipakai masyarakat pada masa awal ini. Secara umum, ada dua kelompok mata uang yang beredar dalam jumlah besar, yaitu (a) uang tembaga pecahan kecil (termasuk campuran dengan timah putih dan timah hitam) dalam berbagai bentuk dan asal (Tiongkok, India, Balnda, dan lain-lain); dan (b) uang perak pecahan besar (dari Belanda, Meksiko, Spanyol, dan lain-lain). 
Sebuah studi menjelaskan bahwa pada abad 17 diperkirakan ada sebanyak 800 picis Tiongkok (mata uang yang terbuat dari tembaga yang paling poluler dikangan masyarakat kala itu) di kawasan Nusantara. Dengan jumlah penduduk yang kala itu diperkirakan kurang-lebih 10 juta, maka peredaran rata-rata per kapita adalah 80 picis—suatu tingkat monetasi yang cukup tinggi pada masa itu (Houben,2002). Namun, berbagai laporan bahwa tingkat penyebaran uang tersebut kurang merata. Ada saja daerah pinggir yang mengalami kelangkaan uang—artinya proses motesasi belum sempurna. 
VOC membutuhkan sejumlah besar alat tukar untuk meborong komoditi dari produsen lokal, yang selanjutnya dibawa ke Eropa. Awalnya, VOC mendatangkan uang perak dari Belanda (gulden) dan negara lain (seperti rixdollar). Tetapi, langkah ini terlalu memakan biaya. VOC pun memutuskan untuk membuat mata uang sendiri untuk dipakai di Indonesia. VOC menggunakan logam yang lebih murah (timah hitam mulai beredar tahun 1633, selanjutnya tembaga atau campurannya mulai 1636) ketimbang logam-logam dari daerah lain. Hal ini menimbulkan Seignorage. Seignorage adalah keuntungan yang didapat dari perbedaan nilai intrinsik mata uang dengan nilai nominal. VOC menggunakan logam yang murah untuk kemudian ditukar dengan komiditi para petani lokal dan kemudian ditukar dengan logam perak/emas dari Eropa (dalam masa sekarang, transaksi ini disebut Foreign Exchange Trading atau perdagangan mata uang). Baru kemudian pada abad 19, kawasan ini memiliki standar mata uang, yaitu gulden Hindia Belanda, seiring terkonsolidasinya kekuasaan Belanda di Indonesia.

Sumber : Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah , Boediono (2016)

Comments

  1. Listrik Gratis Akan Disetop Mulai April 2021
    Pemerintah memutuskan akan menyetop stimulus listrik gratis kepada pelanggan golongan rumah tangga, industri, dan bisnis kecil berdaya 450 VA. Penyetopan listrik gratis ini akan dimulai pada... Baca Selengkapnya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts