Lintas Ekonomi Indonesia (2) : Era Pemerintahan Kuasi VOC



Lintas Ekonomi Indonesia (2) : Era Pemerintahan Kuasi VOC


Hasrat untuk medapatkan lebih. Itulah yang mendorong pedagang asing, terutama eropa, dalam ekspedisinya menjelajahi dunia mencari komoditi. Maka tak heran muncullah kongsi-kongsi dagang seperti VOC (Verenigne Oost-Indische Compagnie) dan EIC (East Indian Company) yang membantu mereka merealisasikan tujuan mereka. Kongsi-kongsi dagang itu, dibentuk oleh para pemodal yang suka pada kegiatan yang menjanjikan keuntungan besar dan dalam waktu yang singkat. Tujuan utama mereka adalah negara-negara yang “baru dan terbelakang” yang mempunyai kekayaan alam berupa logam-logam mulia (emas, perak) atau komiditi-komoditi yang laku di pasar Eropa (rempah-rempah). Kekuatan militer
dibentuk dengan dalih mengamankandari kongsi-kongsi dagang lain. Namun, pada praktiknya, kekuatan militer ini cenderung digunakan untuk menaklukan penguasa-penguasa lokal. Perang antar bisnis berubah menjadi perang antar negara dalam menduduki tanah jajahan. Barulah pada abad 17 hingga 19, imperialisme mencapai titik kulminasi.

Kita mulai pembahasan mengenai VOC. Kongsi yang datang tahun 1596, secara mengejutkan berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Maluku serta pos dagang di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi pada akhir abad 18 (Van Zanden dan Marks : 2012). Teritori yang semakin luas, mejadikan keuntungan yang diraup oleh VOC berlipat-lipat. Selain itu, VOC juga mendapatkan keuntungan lain melalui pajak dan berbagai pungutan-pungutan lain terhadap pribumi. Dari sinilah, VOC yang mulanya merupakan kongsi dagang biasa, secara perlahan menjadi “pemerintahan kuasi” Nusantara.

Mengenai pajak-pajak yang diterapkan VOC, VOC tidak hanya melanjutkan pajak-pajak yang sebelumnya sudah diterapkan oleh penguasa setempat, seperti pajak kepala, pajak tanah, pajak lalu lintas perdagangan, namun VOC juga menerapkan pajak-pajak baru seperti pajak in natura atas sejumlah komoditi ekspor, mengenakan pungutan atas impor tekstil dan candu, serta memonopoli pergadangan.

Yang menarik pada masa VOC adalah tatacara VOC mengelola daerah jajahan yang sangat luas dengan jumlah personel yang terbatas ini. Solusi khas dan cerdas ini adalah dengan memanfaatkan penguasa lokal dan birokrasinya. Praktik ini kemudian menjadi semakin canggih sampai pemerintahan era Belanda abad 20. VOC tidak memiliki aparat dalam melakukan penarikan pajak-pajak itu. VOC melakukan kerjasama atau melaui sistem subkontrak dengan penguasa lokal (Van Zanden dan Marks : 2012).

Sebelumnya, kita membahas mengenai salah satu dampak dari perdagangan, yaitu spesialisasi. Spesialisasi ini pun akan menimbulkan efisiensi produksi dan akhirnya akan menghasilkan manfaat ekstra (gains from trade) bagi yang mengikuti perdagangan. Sebuah pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan menikmati manfaat ekstra tersebut? Teori ekonomi mengatakan bahwa siapa yang memiliki kekuatan pasa (market power) yang besar lah yang akan menikmati hal itu. Begitu pula dengan VOC. Pangsa pasar VOC yang demikian luas menjadikan VOC menikmati sebagian besar manfaat ekstra tersebut. Kekuatan militer dan kecerdikan diplomasi, semakin memperkuat cengkraman VOC di Nusantara. Pemerintahan kuasi VOC pun semakin kokoh dan semakin intensif menyerap sumber-sumber daya ekonomi Nusantara. 

Tujuan mereka hanya satu, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, namun dengan biaya yang seminimal-minimalnya. Sama sekali tidak ada hasrat untuk menyejahterakan pribumi. Kondisi kehidupan yang sangat meyedihkan, begitulah yang digambarkan Thomas Robert Malthus dalam bukunya An Essay on the Principle of Population (1798), sampai menyebutnya sebagai zona antara hidup dan mati. Angka kelahiran tinggi, begitu pula dengan kematian yang terjadi akibat wabah penyakit, kalaparan, perang, dan bencana alam.

Indonesia memiliki dua keunggulan di mata VOC untuk dapat merealisasikan tujuan piciknya itu; (a) melimpahnya tanah dengan tingkat kesuburan yang tinggi, sehingga sangat menguntungkan untuk pertanian; dan (b) tenaga kerja yang murah yang mampu mengolah tanah tersebut—dua keistemawaan yang tidak dimiliki oleh VOC di negerinya. Hal itu yang kemudian dimanfaatkan secara maksimal—atau bisa disebut ekploitasi—oleh VOC. Tidak mengherankan ekonomi Nusantara “tumbuh” secara luar biasa.

Namun, seperti kasus-kasus pasang-surut ekonomi di setiap bagian negara dunia, pertumbuhan tersebut mencapai titik jenuh. Sebuah studi menggambarkan hal ini, bahwasanya selama tahun 1450-1680 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan. Setelah itu (1750-1820), kejenuhan mulai meradang. Kegiatan ekonomi terhalang oleh adanya pertikaian dan peperangan. Selain itu, kejenuhan sistem monopoli VOC pun mulai terlihat. 

Dua abad masa penjajahan VOC, memberikan pelajaran yang berharga bagi kita. Pertumbuhan ekonomi tidak selalu menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang meroket, tidak ada artinya bila mana jurang ketimpangan semakin lebar dan tingkat harapan hidup yang semakin berkurang.

Selain itu, jika kita menilik apa arti kemajuan ekonomi yaitu ketika ekonomi mampu tumbuh dalam jangka panjang berdasarkan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan, maka perekonomian Indonesia belum dikatakan maju. Ekonomi yang hanya bertumpu pada komoditas terterntu yang diinginkan kolonial dan menghiraukan aspek lain. Surplus ekonomi disedot secara masif hanya untuk ditransfer ke para kolonial itu. Pada akhir abad 18, kondisi perekonomian Indonesia bahkan tidak jauh lebih baik ketimbang sebelum kedatangan VOC.



Source:
Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Mizan

Comments

Popular Posts