Nasionalisme Ekonomi: Ekonomi yang Produktif, bukan Konsumtif
Nasionalisme Ekonomi: Ekonomi yang Produktif,
bukan Konsumtif
Manifestasi kesadaran bernegara atau semangat
bernegara. Itulah inti dari nasionalisme. Nasionalisme setiap negara memiliki
latar belakang yang berbeda. Nasionalisme di Indonesia sendiri lahir karena
adanya tekanan dari negara-negara penjajah. Keinginan kuat untuk merdeka,
melahirkan gerakan-gerakan nasionalis yang mulai terlihat pada abad ke 20, yang
diprakarsai oleh Boedi Oetomo (1908) dan disusul organisasi-organisasi lain.
Semangat nasionalisme ini mencapai titik
kulminasi pada tada tanggal 17 Agustus 1945 ketika presiden pertama Indonesia membacakan
naskah proklamasi. Indonesia yang sebelumnya memiliki status sebagai negara
jajahan, berubah menjadi negara yang berdaulat. Namun, ujian demi ujian kerap
mencoba melunturkan semangat nasionalisme ini. Mulai dari Agresi Belanda 1 dan
2, konflik internal menyangkut suku dan budaya, gerakan-gerakan separatis yang
menginginkan pemisahan dari Indonesia, dan berbagai macam ujian lainnya.
Salah satu diantara ujian-ujian itu adalah
globalisasi pada bidang ekonomi. Leburnya batas-batas pasar antar negara dapat
menjadi penguji ampuh bagi para nasionalis.
Dalam sudut pandang ekonomi, nasionalisme memiliki
beragam interpretasi, dan interpretasi-interpretasi ini ikut mempengaruhi
kebijakan ekonomi nasional. Karena itu, memahami definisi dan interpretasi ini
merupakan keniscayaan agar kepentingan nasional dapat diraih.
Penerapan nasionalisme ekonomi hendakanya
dilakukan dengan cara yang tepat agar kepentingan nasional benar-benar dapat
tercapai. Kepentingan nasional perlu dikedepankan daripada kepentingan-kepentingan
individu atau golongan atau bahkan kepentingan pihak asing.
Globalisasi ekonomi yang tadi disebutkan
membawa pengaruh bagi negri ini. Maraknya investasi-investasi asing, baik dalam
bentuk Foreign Direct Investment atau Portofolio Investment, membanjiri
nusantara. Kepercayaan untuk menyerahkan proyek-proyek vital pada investor
asing melebihi kepercayaan atas kemampuan perusahaan-perusahaan nasional. Dalih
kesiapan teknologi yang belum matang serta sumber daya manusia yang kurang
memadahi menjadi alasan-alasan utama agar proyek-proyek itu diambil oleh oleh
pihak asing. Padahal, ada banyak perusahaan nasional yang agaknya mampu untuk
mengambil alih proyek-proyek tersebut. Walaupun perlu banyak dana yang
digelontorkan untuk memulai investasi pengembangan teknologi dan manusia, hal
itu akan terbayarkan dalam jangka panjang.
Ketergantungan akan produk-produk asing juga
masih akut. Mental konsumtif masih medarah daging pada masyarakat. Semangat
untuk memproduksi barang sendiri masih minim. Parahnya lagi, produk-produk itu
merupakan produk vital seperti pangan, bahan bangunan, pakaian, yang seharusnya
dapat kita produksi sendiri. Beras, sebagai makanan primer pun selalu mengalami
peningkatan impor sejak 3 tahun ke belakang (Badan Pusat Statistik). Padahal,
dengan sumber daya alam maupun manusia yang tersedia, agaknya hal itu kurang dinilai
kurang wajar.
Nasionalisme ekonomi memang bukanlah sistem
ekonomi mandiri dalam keterisolasian. Bukan pula doktrin yang reaktif dan
defensif, namun proaktif. Kita menyadari bahwa sebuah negara tidak dapat hidup
tanpa adanya negara lain. Namun, kebutuhan itu janganlah menjadi ketergantungan
akut yang menjadikan negara hanya akan terus mengonsumsi, tanpa memproduksi. Terus
mengandalkan impor, dan mengabaikan ekspor.
Comments
Post a Comment