Romantisme, Buaian atau Dorongan?
Romantisme, Buaian atau Dorongan?
Tulisan ini saya buat berdasarkan kontemplasi saya selama kurang lebih 6 bulan kebelakang. Dan pada masa kontemplasi ini, saya menemukan sebuah klise dalam romantisme kemenangan yang kerap kali menghantui dalam dogma inersia dalam belajar.
Romantisme kejayaan individu atau kelompok, terkadang dapat memiliki dampak positif atau bahkan negatif. Mungkin kita melihat bagaimana bangsa eropa menggunakan romantisisme kejayaan yunani kuno sebagai dasar pergolakan abad pencerahan Eropa. Romantisme ini juga yang kemudian mengakhiri abad kegelapan yang telah lama mengrogoti bangsa benua biru itu. Namun, adalakanya romantisme ini menjadi buaian manis yang menjadi dogma inersia seorang individu atau kelompok.
Disini penulis tidak akan terlalu banyak membahas romantisme dalam sudut pandang sebuah bangsa. Namun, mari kita melihatnya dalam sudut pandang seorang pelajar.
Seperti yang disinggung sebelumnya, setiap manusia pasti memiliki masa lalu, baik itu berkesan baik atau buruk, tak terkecuali dalam kehidupan belajar. Setiap pelajar mungkin memiliki romantisme tersendiri. Ada pelajar yang sukses dalam lomba menari, ada yang sukses dalam kontribusinya dalam sebuah organisasi atau acara, ada pula yang sukses dalam lomba-lomba prestis berkancah nasional atau bahkan internasional. Yang pasti, setiap pelajar memiliki kenangan manis di masa lalu.
Yang kemudian menjadi masalah adalah, apakah romantisisme ini akan membuat seseorang berada dalam fase inersia atau bahkan sebaliknya, mendorong orang tersebut untuk terus meraih prestasi? Tak sedikit seorang pelajar telah yang sukses dalam suatu hal akan termakan dogma inersia dalam belajarnya. Terbesit pikirannya untuk bermalas-malasan dengan dalih dia telah menguasai bidang yang bersangkutan. Dia menyangka bahwa romantisme itu sudah cukup dan dengannya, dia dapat bersaing dengan pihak lain.
Hal ini dapat dengan mudah ketika seorang pelajar pindah dari suatu institusi ke institusi lain. Tidak sedikit pelajar yang mungkin dahulu mengantongi banyak prestasi, masih terbuai dengan piala-piala maupun sertifikat masa lalunya. Hal ini kemudian menjadikannya malas dalam terus meraih prestasi dan memberikan lebih banyak kontribusi. Dia berpikir bahwa lingkungan institusi sekarang akan sama mudahnya dengan lingkungan institusi sebelumnya. Dengan dalih demikian, sang pelajar tersebutpun termakan dalam romantisme masa lalunya yang sebenernya sama sekali tidak berguna baginya masa kini.
Mungkin pandangan saya kurang representatif. Saya masih meyakini banyak diantara kita yang terus merajut asa tanpa melihat romantisisme masa lalunya. Atau bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki romantisme, berusaha mewujudkannya di masa kini. Saya tidak menyalahkannya, malah saya sangat bersyukur dengan kondisi demikian. Yang menjadi duduk perkara pada tulisan ini adalah pihak-pihak yang menjadikan romantisme itu sebagai dogma yang menekan intelektual dan kreativitas yang bersangkutan. Mungkin hal ini terkesan sepele, namun berdampak besar. Berapa banyak kita melihat alumni-alumni yang mengantongi sejumlah prestasi namun tidak memiliki kontribusi apapun ketika ditempatkan dalam tempat lain? Berapa banyak alumni Olimpiade yang kemudian terjungkal oleh kuda hitam di masa berikutnya? Berapa banyak para penghuni peringkat atas sekolah mampu dengan mudah tersandung dan masuk kedalam jurang keterpurukan? Mungkin hal ini harus menjadi fokus utama para pelajar khsusnya yang memiliki kenangan romantisme dalam piala dan medali.
Sumber gambar :
http://photo.elsoar.com/
Comments
Post a Comment