Efek Kobra dan Paradoks Insentif
Efek Kobra dan Paradoks Insentif
“Cara terbaik untuk memperbanyak serigala di Amerika, kelinci di Australia, dan ular di India adalah dengan menawarkan hadiah untuk kulit kepala mereka. Kemudian setiap patriot akan memelihara mereka” –Mark Twain
Pernahkah kalian stress dengan banyaknya tikus di kawasan kumuh perkotaan? Mungkin sempat terlintas dalam pikiran anda, “Kenapa pemerintah tidak memberi hadiah kepada warga yang dapat membunuh tikus-tikus itu berupa sejumlah uang tunai setiap kepala tikus yang disetor?.” Mungkin memang tikus sangat meresahkan. Selain membawa kuman dan penyakit, tikus perkotaan seringkali merusak beberapa fasilitas rumah tangga seperti kabel dan perabotan kayu lainnya. Namun, apakah memberikan hadiah uang merupakan sebuah langkah yang solutif? Hmm.. saya rasa tidak.
Ada sebuah paradoks yang menarik mengenai efek insentif seperti dalam kasus ini. Paradoks ini dinamakan “efek kobra”. Konon, penguasa Inggris di jajahan India berpikir bahwa terlalu banyak ular Kobra di Delhi. Mereka kemudian menawarkan hadiah berupa uang tunai untuk setiap kulit kobra yang disetorkan kepada aparat. Insentif tersebut bekerja dengan baik, sangat baik bahkan, sehingga memunculkan sebuah industri baru : Peternakan kobra. Warga India mulai mengembangbiakan, membesarkan, dan menyembelih ular kobra untuk mendapatkan hadiah menggiurkan dari pemerintah itu. Ada pula para petani yang “melepaskan” kobra-kobra mereka untuk kemudian mereka bunuh agar terlihat natural dan lolos dari inspeksi aparat. Hal ini juga yang menimbulkan masalah baru bagi warga karena ternyata jumlah ular Kobra semakin banyak!
Kasus unik lain juga terjadi di Mexico City. Kemacetan yang sudah mencapai titik nadir membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa rencana penggiliran mobil. Para pengemudi harus meninggalkan mobil mereka di rumah satu hari kerja setiap minggu, dengan waktu tertentu yang ditentukan oleh plat nomor mobil yang bersangkutan. Pemerintah kemudian menghimbau warganya untuk menggunakan transportasi umum dikala mobil mereka diistirahatkan. Harapannya, kemacetan parah yang terjadi di Mexico City ini dapat diredam atau paling tidak berkurang. Lalu, bagaimana kebijakan itu bekerja?
Penggiliran mobil ini malah semakin menimbulkan kemacetan yang lebih parah. Semakin banyak mobil melintas, tidak adanya peningkatan penggunaan transportasi umum, dan tidak adanya perbaikan kualitas udara. Mengapa demikian? Banyak warga membeli mobil kedua –yang biasanya jauh lebih murah, lebih boros bensin, lebih kuno dan lebih polutif, untuk mengakali kebijakan penggiliran mobil ini.
Tak jauh berbeda dengan kasus kredit karbon yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik di seluruh dunia, pemerintah mencanangkan sebuah insentif berupa kredit karbon yang dijual secara bebas. Kredit ini memiliki nilai yang berbeda tergantung jenis emisi yang dihasilkan. Untuk setiap ton karbon dioksida yang dapat dikurangi oleh pabrik, pabrik akan mendapatkan satu kredit. Polutan lain memiliki nilai yang lebih besar : metana (21 kredit setiap ton), nitro oksida (310 kredit setiap ton), dan sebagainya. Diantara rentetan daftar kredit itu, terdapat satu zat yang memiliki nilai yang fantastis, yani Hidroflorokarbon-23 atau HFC-23 (11700 kredit setiap ton). Polutan ini merupakan gas rumah kaca “super” yang merupakan produk sampingan pembuatan HCFC-22, bahan pendingin yang sangat merusak lingkungan. PBB berharap, dengan insentif yang besar ini, kerusakan lingkungan mampu diminimalisir. Lalu, apakah kebijakan ini sukses?
Pabrik-pabrik diseluruh dinia, terutama di China dan India mulai memproduksi tambahan HCFC-22 untuk menghasilkan tambahan HFC-23 agar mereka dapat meraup uang tunai. Seorang pejabat Environmental Investigation Agency (EIA) menyatakan “Buktinya melimpah bahwa para produsen menciptakan kelebihan HFC-23 hanya untuk dihancurkan dan mendapat kredit karbon.” Hasil yang didapat tidak dapat diremehkan. Perusahaan mampu meraup untung lebih dari 20 juta USD setiap tahun atas penjualan kredit karbon untuk HFC ini. Marah dan malu, PBB mengubah aturan program untuk membatasi penyalahgunaan tersebut dengan melarang kredit HFC-23. Hal ini kemudian menyulitkan perusahaan untuk mendapatkan pasar kredit untuk polutan ini. Jadi apa yang terjadi dengan berton-ton tambahan HFC-23 yang kehilangan nilain ini? EIA memperingatkan bahwa China dan India mungkin akan melepaskan sejumlah besar HFC-23 ke atmosfer dan membuat emisi gas rumah kaca semakin global meroket. Artinya, PBB akhirnya membayar para pencemar lingkungan jutaan dolar untuk ... menciptakan polusi tambahan
Comments
Post a Comment