Pendidikan Buruk, Siapa yang harus Disalahkan?
Pendidikan Buruk, Siapa yang harus Disalahkan?
"Sistem pendidikan perlu diubah! Sistem ceramah dan test-base yang Indonesia terapkan sudah tidak relevan lagi! Anak-anak perlu mendapatkan bimbingan yang baik untuk persiapan mereka kedepan!"
Seringkali, kita mengkambinghitamkan sistem pendidikan Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, sistem pendidikan Indonesia lebih mendasarkan pada metode ceramah ketimbang metode interaktif antar siswa. Tak jarang sistem ini kemudian hanya membentuk siswa-siswa yang pasif dan kurang mampu meningkatkan tingkat keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat. Walaupun metode ini sudah berusaha diubah dalam sistem pendidikan baru yang termanifestasi dalam kurikulum 2013, namun tetap saja, "bekas-bekas" KTSP masih belum hilang sepenuhnya dari pola Kegiatan Belajar Mengajar di ruang kelas.
Selain itu, dunia telah berubah. Pekerjaan makin terdiversifikasi. Banyak pekerjaan yang hilang namun lebih banyak ranah pekerjaan baru yang muncul. Dahulu, ketika belum ditemukan sistem otomatisasi jam mati dan hidup lampu jalanan, terdapat sebuah pekerjaan unik yaitu "penyala dan pemati lampu jalanan". Pekerjaan itu kini telah sirna karena perkembangan teknologi menyebabkan hal itu semakin mudah dilakukan. Namun, lapangan pekerjaan baru semakin terbuka. Pengacara, Akutaria, Akuntan, dan pekerjaan-pekerjaan baru lain muncul atas tuntutan perkembangan global. Ini kemudian membawa petaka baru bagi dunia pendidikan.
Di Finlandia, mahasiswa-mahasiswa peringkat atas langsung direkrut menjadi pengajar di instansi-instansi pendidikan. Beda dengan Indonesia maupun negara-negara berkembang lain. Para penghuni klasemen puncak lebih memilih pekerjaan lain yang dirasa prestisius (baik karena stigma masyarakat akan pekerjaan itu maupun karena gaji yang lebih menggiurkan). Sedangkan opsi menjadi guru lebih diminati oleh penghuni klasemen menengah ke bawah. Kejadian ini menimbulkan kualifikasi guru Indonesia tidak begitu baik dan kemudian menjadikan pendidikan kurang bergairah.
Namun, apakah itu inti dari semua permasalahan pendidikan?
Siswa hanya menghabiskan waktu rata-rata di sekolah 7 jam perhari atau 180 hari per tahun, atau sekitar 22% dari waktu bangun anak-anak. Dan waktu-waktu itu belum dikurangi dengan jam ishoma anak-anak selama bersekolah. Ditambah lagi terdapat 5 tahun pertama dimana anak-anak masih dalam bimbingan orang tua sepenuhnnya. Lalu, apakah dengan waktu yang sedikit itu menjadi alasan bagi kita untuk menuntut sekolah untuk mencetak anak-anak berkualitas? Lalu apa kuncinya?
Keluarga
Keluarga menjadi wadah pembelajaran anak yang paling efektif. Dalam rentang umur 1 – 13 tahum keluarga lebih mendominasi tumbuh kembang anak ketimbang lingkungan sekolah. Pepatah arab mengatakan bahwa “Ibu adalah Sekolah pertama”. Iya. Dari ibu kita pertama kali belajar segala hal, dan itu tidak dapat dinafikan. Disamping itu, walau pekerjaan menjadi guru tidak favorit di Indonesia, guru tetap memiliki kualifikasi tertentu. Beda dengan keluarga. Pemerintah tidak bisa membatasi bahwa “Hanya mahasiswa lulusan S2 yang bisa menjadi ayah dan ibu”. Tidak. Menikah adalah hak setiap manusia, begitu pula hak memiliki anak dan membesarkannya. Di sinilah yang ternyata menjadi titik persoalan.
Lalu, apakah kita tetap mempertanyakan “Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?”? Bagaimana jika kita mengubahnya menjadi “Apa yang salah dengan sistem pembinaan keluarga kita”. Ingat, pendidikan pertama bukan ketika kita memasuki taman kanak-kanak. Namun ketika kita mulai membina keluarga dan mengasuh anak-anak –bahkan mungkin lebih jauh lagi yaitu ketika memilih pasangan.
Comments
Post a Comment