Seks, Uang, dan Budaya: Telaah Prostitusi dari Berbagai Prespektif


Seks, Uang, dan Budaya: Telaah Prostitusi dari Berbagai Prespektif





Mengkaji praktik prostitusi memang tidak akan ada habisnya. Polemik yang sudah menjadi persoalan sejak berabad-abad lalu ini terus menjadi persoalan negeri yang harus dibenahi secara cermat. Tentu dalam mengkaji kasus-kasus yang ada, ada banyak sekali prespektif dari berbagai ranah keilmuan. Ekonom akan memandang prostitusi sebagai sebuah pasar yang memiliki sisi supply dan demand yang sangat unik dinamis. Antropolog akan memandang kasus ini sebagai liberasi tubuh manusia akibat pergeseran kultur masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin permisif. Lain dengan ahli kesehatan yang memandang praktik prostitusi secara klinis terkait penyakit-penyakit yang timbul akibat aktivitas ini. Perbedaan preskpektif ini semakin membuat kajian akan praktik prostitusi semakin menarik.


Praktik prostitusi ternyata tidak hanya terjadi di kawasan ibu kota saja, namun juga wilayah Bandung dan sekitarnya. Sebagai salah satu kota yang memiliki banyak kampus ternama seperti Institut Teknologi bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia dan berbagai kampus lain ternyata menjadikan kawasan ini cukup ramai untuk dijadikan pasar prostitusi. Mulai dari wilayah pinggiran seperti Dewi Sartika dan Saritem, hingga tempat-tempat elite seprti cafe dan spa, bisnis eksploitasi tubuh ini semakin menggurita dan menjerat berbagai kalangan masyarakat tak terkecuali mahasiswa bahkan dosen. Fundamen ini kemudian menjadikan Kementerian Kajian dan Aksi Strategis, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran mengadakan talkshow ilmiah yang khusus mengkaji praktik prostitusi dari berbagai prespektif. Talkshow yang dinamakan “Benah Negeriku” ini diselenggarakan pada tanggal 5 Mei lalu bertempat di Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran Dipati Ukur dan mengundang tiga narasumber yang telah kompeten dalam bidang ini namun dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda. Ketiga narasumber itu adalah Dr. Adiatma M. Sinegar selaku pakar ekonomi kesehatan, Dadi Suhenda selaku antropolog dan Titeu Herawati selaku praktisi kesehatan klinik mawar yang sering berkecimpung dalam penanganan kasus prostitusi di wilayah Bandung.

Perbincangan dimulai dengan presentasi dari Dr. Adiatma yang ciamik. Mengangkat hasil penelitian dari salah satu muridnya bernama Parayil berjudul “Why work as female sex workers? : An analysis of the related income and Expenditure”, kepala jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ini menggiring audiens kepada suasana yang meriah terkait “dunia hitam” ini. Di dalam analisis beliau sempat disinggung bahwa terdapat 21.200 Pekerja Seks Komersial (PSK) yang telah terdeteksi di Jawa Barat, dan seperti yang kita ketahui fenomena sosial itu layaknya gunung es dimana kejadian-kejadian yang tidak terdeteksi jauh lebih besar ketimbang kejadian yang terdeteksi. Jumlah yang tinggi ini kemudian memberikan sebuah pertanyaan besar. Mangapa ada banyak orang yang rela menjual harga dirinya dengan hina seperti ini?
Dr Adiatma M Siregar, Kepala Program Studi Ilmu Ekonomi S1 Universitas Padjadjaran


Studi terkait fenomena prostitusi dapat dikatakan rumit. Mendapatkan responden secara langung –baik itu PSK itu sendiri atau calo dan mucikarin yang bertindak di baliknya, tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak responden malu dan segan untuk dapat dimintai data terkait perihal ini.  Hal ini juga yang membuat Parayil hanya mampu mendapatkan 52 responden PSK. Walau jumlah ini tergolong sedikit, penelitian Parayil cukup merepresentatifkan kejadian di lapangan.

Parayil mendapati bahwa umur rata-rata PSK adalah 24 tahun –dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 42 tahun. Dari keseluruhan, ternyata hanya 6% yang berasal dari bandung, sedang sisanya merupakan warga non-Bandung. Dari bisnis prostitusi ini, rata-rata pendapatan kotor yang dapat diperoleh adalah Rp 19.5 juta perbulan –dengan pendapatan terendah sebesar Rp 1.6 juta dan pendapatan tertinggi sebesar 40 juta rupiah. Menurut Dr. Adiatma, jumlah ini tergolong kecil ketimbang jumlah yang didapat oleh para PSK yang bekerja di cafe atau spa yang dapat menarik gocek puluhan juta rupiah sekali “beraksi”. Disamping semua itu, hal yang menarik lagi dari penelitian ini adalah 42% dari responden ternyata “direstui” oleh orang tuanya! Temuan yang luar biasa!

Dr Adiatma kemudian memberikan analisisnya mengapa praktik prositusi sangat marak di tengah masyarakat. Menurutnya, semua permasalahan ini ada karena adanya demand yang tak kunjung menyusut. Permintaan akan PSK tetap pada level yang tinggi baik pada masyarakat berpenghasilan tinggi maupun yang berpenghasilan rendah. Sesuai dengan hukum ekonomi, adanya demand akan memicu adanya supply yang kemudian akan menciptakan pasarnya tersendiri. Inilai yang menjadikan pasar prostitusi masih terlihat segar bagi para supplier. Dengan demikian, memutus kekuatan demand merupakan langkah yang tepat untuk benar-benar memberantas kasus prostitusi. Hal ini pernah diterapkan dan berhasil mengurangi tingkat prostitusi secara drastis di Swiss. Pemerintah Swiss tidak pernah menutup atau berusaha menutup tempat-tempat lokalisasi. Alih-alih, pemerintah memenjarakan siapa saja yang datang ke tempat lokalisasi. Usaha yang tepat untuk memutus pasokan demand.

Sayangnya, kejadian di lapangan tidak mendukung analisa ini. Pemerintah Indonesia lebih berfokus pada pada pemutusan supply dengan menutup berbagai tempat lokalisasi. Langkah ini mungkin terdengar lebih berani dan lebih “heroik” oleh masyarakat, namun yang terjadi menunjukan hal yang sebaliknya. Ketika pemerintah menutup tempat-tempat lokalisasi, berbagai pasar gelap prostitusi mulai bermunculan di mana-mana secara tidak terkontrol. Yang lebih buruk lagi, pasar prostitusi kerap kali berpindah ke tempat-tempat yang tidak seharusnya dihinggapi seperti kost-kost mahasiswa dan tempat-tempat terbuka. Hal ini akan menimbulkan semakin rumitnya penangangan praktik prostitusi kedepannya.

Terdapat sebuah pertanyaan menarik dari salah satu audiens terkait demand PSK di Indonesia. Mengutip dari anggitan Steven Levit & Stephen Dubner dalam karyanya “Superfreakonomics”, disebutkan bahwa pasar prostitusi di Amerika semakin kewalahan ketika muncul pasar baru yang lebih marak di kalangan remaja. Pasar yang dimaksud di sini adalah freesex –sebuah pasar dimana seseorang dapat menikmati seks secara gratis dari teman dekatnya. Untuk apa seseorang mencari PSK jika dia dapat mengajak teman dekatnya untuk berhubungan badan secara gratis? Lalu, apakah hal ini terjadi juga di Indonesia khususnya di Bandung? Dr Adiatma mengutip salah satu penelitian ilmiah terkait seks di kota Bandung yang berintikan “di Bandung, mendapatkan PSK sama mudahnya seperti memesan makanan cepat saji.” Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tren freesex ini sangat mungkin sekali muncul dan mengahancurkan pasar prostitusi di Indonesia, terutama di Bandung. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Di atas semua itu, perbincangan mengenai bisnis prostitusi tidak akan terlepas dengan bisnis-bisnis yang ada disekitarnya. Perputaran uang di daerah-daerah lokalisasi sangatlah cepat. Setiap malam saat bisnis ini berjalan, ada puluhan bisnis yang juga ikut bergerak. Bisnis laundry, bisnis makanan, bisnis pelicin, dan lain-lain ikut tumbuh dan hidup berdampingan dengan bisnis tubuh ini. Tidak sedikit masyarakat sekitar yang akhirnya bersifat permisif kepada praktik prostitusi karena mereka hidup dari uang-uang berputar disekitarnya.

Perbincangan berlanjut kepada narasumber kedua yang tidak kalah menarik yang disajikan salah seorang antropolog yang juga memiliki banyak pengalaman dalam gurita bisnis prostitusi di Bandung. Pria bernama Dadi Suhenda ini mencoba mengupas praktik prostitusi melalui kacamata sosial secara lebih luas. Beranjak dari akar permasalahan prostitusi –yang tidak lain adalah gairah seksualitas manusia, Dadi secara perlahan membawa audiens kepada praktik prostitusi melalui kerangka-kerangka ilmiah sosial budaya.

Secara umum, perbincangan mengenai perilaku seksual, seperti yang dikutip dari Aris Arif Mundayat, akan meliputi 7 hal yaitu :

a.       Virginitas. Virginitas dapat dikatakan hal yang tabu untuk dibicarakan di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari presepsi masyarakat terkait kesakralan seks dan penghargaan atas keperawanan itu sendiri.

b.       Komoditas nafsu (Commodity of lust). Dewasa ini, nafsu menjadi sebuah komoditas yang memiliki pasar tersendiri. Berbagai macam hiburan semakin marak yang tidak lain hanya untuk memuaskan nafsu hewani manusia (lust) yang di dalamnya termasuk hubungan seksual. Tak ayal, seks pun akhirnya “diperdagangkan” dalam bisnis prostitusi.

c.       Perkawinan (moral sexuality) dan promiskuitas (profane sexuality). Seperti yang disinggung sebelumnya, masyarakat Indonesia menjunjung tinggi kesakralan hubungan badan antara dua insan. Kesakralan yang termanifestasi melalui serangkaian upacara perkawinan ini ternyata kian tergerus. Seks semakin kehilangan kesakralannya dan masyarakat semakin permisif akan hubungan seks di luar nikah.

d.       Fungsi kekerabatan. Aktivitas seksual manusia tidak lain merupakan hasrat yang timbul akibat kebutuhan untuk menyambung keturunan. Hal ini kemudian menjadikan pembahasan mengenai fungsi kekerabatan dan garis keturunan tidak dapat ditampikan ketika berbicara mengenai perilaku seksual manusia

e.       Nilai moral agama. Agama menjadi pagar yang menjadi pembatas nilai yang dianggap benar oleh manusia dalam berperilaku, termasuk didalamnya adalah perilaku seksual. Pagar inilah yang kemudian menjadikan perilaku seksual dapat dikategorikan bermoral atau di luar batas moral.

f.        Wacana patriaki. Sudah bukan rahasia lagi ketika berbicara mengenai prostitusi, maka yang terbanyang di benak kebanyakan orang adalah dominasi pria atas wanita. Wanita dianggap seakan-akan selalu menjadi korban atas pemaksaan laki-laki dalam memenuhi hasratnya. Tak ayal hal ini menjadikan wacana patriaki cukup menjadi sorotan dalam kegiatan seksual.

Ketujuh faktor diatas memuat dua inti utama, yaitu perilaku seks secara legal melalui ikatan pernikahan dan di sisi lain perilaku seks secara bebas. Dari sinilah mulai tersinggung istilah prostitusi. Prostitusi itu sendiri dapat ddefinisikan sebagai hubungan seksual yang terjadi dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut Wanita Pekerja Seks (WPS) atau Pekerja Seks Komersial (PSK).

Terdapat beberapa faktor yang dianggap sebagai faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk memasuki dunia prostitusi seperti yang diungkapkan oleh kadir yaitu:

a.       Kemiskinan;

b.       Ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang ada;

c.       Tidak mempunyai kecerdasan yang cukup untuk memasuki sektor formal;

d.       Ketidakutuhan dalam kehidupan keluarga;

e.       Ketidakpuasan dalam kehidupan seksual yang dimiliki; dan

f.        Memiliki cacat badaniah

Pendapat lain yang cukup unik terkait faktor penyebab munculnya pekerjaan ini disampaikan dalam buku berjudul “Tangan Kuasa dalam Kelamin”, Telaah Homoseks, pekerja seks dan seks bebas di Indonesia.” Dalam buku ini, di sebutkan bahwa revolusi hijau juga berperan dalam memicu pertumbuhan praktik prostitusi. Kenapa hal ini bisa terjadi? Seperti yang diketahui bersama bahwa revolusi hijau membawa tiga pokok perubahan yang meliputi intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi sektor pertanian. Dirapkan dengan adanya program ini, produksi hasil pertanian di Indonesia dapat semakin meningkat dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga Indonesia. Namun, disebutkan bahwa program ini juga membawa dampak buruk dalam beberapa sisi, yang salah satunya adalah maraknya tenaga kerja wanita yang menganggur akibat tergusur oleh mekanisasi di bidang pertanian. Tak ayal, kondisi ini menimbulkan tekanan sosial yang cukup kuat terutama yang dialami oleh pihak wanita. Wanita pun kemudian banyak yang berbondong-bondong memasuki lapangan pekerjaan lain. Tidaklah menjadi masalah ketika wanita-wanita itu memiliki keahlian profesional lain yang dapat membantu mereka, namun menjadi masalah pelik bagi para wanita yang tidak memiliki keahlian lain selain kemampuan kasar mereka. Walhasil, pasar PSK menjadi salah satu sasaran yang menarik bagi wanita-wanita golongan ini.

Faktor sanjungan terhadap simbol-simbol material dan permisifitas kultural juga menurut buku ini disinyalir sebagai faktor pendorong munculnya praktik prostitusi. Simbol-simbol material disini berkaitan erat dengan perubahan mode di tengah masyarakat baik berupa pakaian, teknologi, transportasi dan semacamnya. Tak jarang mode ini menjadi “tuhan” beberapa golongan masyarakat sehingga membuat mereka rela melakukan apapun untuk mendapatkannya walau mendalami profesi PSK. Kultur masyarakat yang kian permisif juga membuat praktik PSK semakin subur. Moral masyarakat semakin terdegradasi dari zaman ke zaman sehingga merubah hal yang dahulu dianggap tabu menjadi hal yang biasa saja, termasuk didalamnya praktik PSK.

Di luar semua itu, terdapat sebuah kasus yang menarik terkait praktik prostitusi ini jika dikaitkan dengan aspek kultural warga. Tersebutlah sebuah objek sejarah di Kabupaten Sragen bernama Gunung Kemukus dimana terdapat makam Raden Samudro. Makam yang cukup keramat ini menjadi salah satu sorotan menarik karena menarik banyak wisatawan yang mencari peruntungan nasib. Yang menarik di sini ialah syarat yang diajukan berupa “berbuat zina” kepada tujuh orang jika ingin hajatnya dikabulkan. Tak heran gunung ini menjadi ladang prostitusi kultural akibat syarat yang absurd ini. Walau pemerintah telah berusaha untuk melarang praktik tidak senonoh ini, di kejadian lapangan membuktikan bahwa usaha ini tidak cukup berhasil. Masih ada saja orang yang mengikuti ajaran absurd daerah Sumberlawang ini.
Gunung Kemukus, sebuah objek wisata sejarah di Sragen

Lalu, bagaimana Dadi memberikan solusi terkait permasalahan prostitusi ini? Pendidikan. Pendidikan seks perlu ditanamkan sejak dini. Pendidikan seks bukan dimulai ketika anak telah mencapai usia baligh, namun ketika anak telah menanyakan hal berbau seksual kepada orang tua. Yang menjadi permasalahan di Indonesia, pendidikan seks selalu dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan di perbincangan formal. Orang tua maupun guru banyak yang menghindarkan pembahasan ini kepada anak-anak. Anak-anak hanya diajarkan fungsi biologis dari organ genital dan mengabaikan fungsi sosial dari organ yang bersangkutan. Mereka diajarkan apa fungsi organ genital pria dan wanita dengan detail namun tidak diajarkan bagaimana menempatkannya di lingkungan sosial. Walhasil, anak-anak yang memiliki rasa keingintahuan yang luar biasa besar mencoba menggalinya dari informan yang belum kredibel. Inilah yang menjadi akar dari semua permasalahan seksual yang ada.

Perbincangan yang semakin memanas semakin berkobar ketika pembicara ketiga memasuki podium. Selaku aktivis PKBI Jawa Barat yang sudah sering menangani secara langsung praktik prostitusi, Titeu Herawati semakin meriuhkan audiens. Pengalamannya selama kurang lebih 30 tahun sebagai salah satu petugas Klinik Mawar (salah satu tempat rehabilitasi para pelaku penyimpangan seksual baik prostitusi, homoseksual, atau bahkan waria) membuat perbincangan pengenai praktik prostitusi semakin hidup.

Titeu mencoba mengangkat topik prostitusi dengan menceritakan pengalaman-pengalamanya yang cukup creepy dalam dunia seksual di kota Bandung. Beliau menceritakan bagaimana kondisi riil masyarakat di tempat-tempat lokalisasi seperti saritem dan jalan Dewi Sartika. Menurut beliau, banyak PSK yang sebenarnya tidak ingin menjadi PSK. Adalah hambatan ekonomis yang kerapkali mendorong banyak pihak untuk terjun ke dalam bisnis gelap ini. Seperti yang dibahas di muka pula, tidak jarang banyak orang tua yang “mengimpor” anak-anaknya untuk bekerja sebagai PSK walau anak-anak itu dapat dikatakan belum cukup umur. Di salah satu kesempatan, Titeu pernah menemui anak usia 18 tahun yang sudah diperkejakan dengan paksa untuk menjanjakan tubuhnya. Lebih mengejutkan lagi bahwa anak ini cukup “laris” di kalangan pelanggan. Tidak mengherankan karena para pelanggan lebih menyukai PSK yang masih fresh. Walhasil, anak ini dapat melayani sekitar 10 pelanggan perhari! Jumlah yang mengejutkan bagi seorang anak usia 18 tahun. Anak ini pun tak jarang mengeluhkan tentang kesakitan yang dialaminya di sekitar alat reproduksinya. Hal ini tidaklah mengherankan melihat usianya yang masih belia namun harus melayani sebegitu besar pelanggan yang datang.
Salah satu sudut di Saritem, tempat lokalisasi di Bandung

Titeu kemudian meluaskan pembahasan prostitusi tidak hanya kepada aktivitas heteroseksual saja. Aktivitas prostitusi ternyata juga berkaitan dengan aktivitas homoseksual atau hubungan sesama jenis. Aktivitas yang lebih dikenal dengan LSL atau “Lelaki Suka Lelaki” ini ternyata memiliki tingkat yang tidak rendah. Terbukti dari data yang diambil dari SIPKBI, pada jumlah LSL di Jawa Barat tahun 2015 yang terdeteksi sebanyak 74.354 –dan tentu saja, sebagaimana fenomena sosial, jumlah ini hanya merupakan pucuk dari gunung es yang memiliki dasar yang jauh lebih besar. Jumlah waria juga dapat dikatakan masif. Dari sumber yang sama, jumlah waria di Jawa Barat yang terdeteksi sebesar 3.694. Jika dibandingkan dengan jumlah Wanita Pekerja Seks (WPS) pada tahun yang sama sejumlah 20.462, LSL dan waria tidak dapat diabaikan begitu saja.

Melihat jumlah pasien yang mengunjungi klinik Mawar untuk melakukan cek kesehatan HIV, ditemukan bahwa LSL dan WPS menduduki peringkat teratas dengan presentase masing-masing sebesar 30.15% dan 32% dari total kunjungan sebanyak 1.987. Yang cukup mengejutkan dari hal ini ialah ternyata kemungkinan HIV positif jauhlebih banyak dialami oleh LSL ketimbang WSP. Data yang dikeluarkan dari PKBI menunjukan bahwa di tahun 2012, 2013, dan 2014, jumlah korban penderita HIV positif dari golongan LSL masing-masing sebesar 47 (dari total 73), 41 (dari total 62), dan 58 (dari total 91). Jumlah ini kurang lebih empat kali lipat dari jumlah WPS yang mengidap HIV positif yang masing-masing berjumlah 12, 8, dan 16
LSL dan Waria binaan PKBI
.

Di luar semua itu, terdapat satu bahasan yang menarik juga mengenai mahasiswa pekerja seks atau lebih dikenal dengan ayam kampus yang sempat ditanyakan salah satu audiens kepada Titeu. Seperti yang diketahui bersama, pergerakan ayam kampus ini cenderung lebih tertutup dan lebih susah ditemukan daripada prostitusi pada umumnya. Namun, hal itu tidak kemudian menuntup kemungkinan keberadaan pasar ini di tengah masyarakat. Menurut Titeu, fenomena ayam kampus ini kebanyakan disebabakan oleh kondisi finansial yang dialami mahasiswa yang tidak cukup mengakomodir gaya hidup mahasiswa.

Sebenarnya, Titeu bersama rekan-rekannya telah mencoba berbagai cara baik berupa sosialisasi saaver sex ataupun berupa empowerment atau pemberdayaan wanita. Hasil yang didapatkan cukup memiliki efek besar. Tercatat, sosialisasi penggunaan alat pengaman cukup berjalan efektif dengan adanya peningkata kesadaran mengenakan kondom sebesar 80%. Dalam komunitas yang dibimbing oleh Titeu dan rekan-rekanya juga telah terbentuk Peer Educator / pendidik sebaya, sehingga terinformasikannya layanan, pendidikan kesehatan /kespro secara lebih luas. Dalam hal pemberdayaan, hasil yang didapat juga cukup sukses. 30 orang  pekerja seks mendapatkan modal alih profesi bekerjasama Kemensos dan kemudian menjadi role model  dalam perubahan prilaku.

Akhir kata, permasalahan prostitusi dapat dikatakan hal yang rumit. Ketika berbicara mengenai bisnis nafsu ini, mau tidak mau pasti akan menyinggung pasar raksasa dengan sisi demand yang terus eksis, aspek budaya masyarakat yang semakin permisif, dan juga penyebaran penyakit menular seks seperti yang disinggung dari ketiga pembicara dalam acara Benah Negeriku ini. Mungkin memang tidak ada satu kebijakan khusus yang mampu secara efektif mengurangi atau bahkan menghilangkan bisnis haram ini di tengah masyarakat. Memutus sisi demand? Kebijakan seperti ini yang pernah dilakukang pemerintah Swiss pun tidak menjamin keberhasilan dalam mengurangi prostitusi. Alih-alih, kebijakan ini dapat menimbulkan black market yang akan semakin sulit dilacak. Pendidikan? Mungkin dapat diterapkan, namun mempertimbangkan sistem pendidikan di Indonesia yang dapat dikatakan sedang sakit, kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri. Pemberdayaan? Mungkin dapat berjalan lancar. Namun, apakah hal ini menjamin para PSK mendapatkan gaji baru yang memadahi dari pada pekerjaan mereka sebelumnya padahal pekerjaan baru yang mereka dapatkan lebih menguras keringat? Pada titik ini, kita mendapati kesimpulan bahwa permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara parsial. Kerangka kebijakan perlu dibuat matang-matang dengan berbagi pertimbangan sisi positif dan negatif. Pemerintah pun tidak bisa berjalan sendiri. Sudah saatnya setiap komponen masyarakat bersinergi dan bersama-sama membenahi negeri yang sedang sakit ini. (zqt)

Comments

Popular Posts