Seks, Uang, dan Budaya: Telaah Prostitusi dari Berbagai Prespektif
Seks, Uang, dan Budaya: Telaah Prostitusi dari
Berbagai Prespektif
Mengkaji praktik prostitusi memang tidak
akan ada habisnya. Polemik yang sudah menjadi persoalan sejak berabad-abad lalu
ini terus menjadi persoalan negeri yang harus dibenahi secara cermat. Tentu
dalam mengkaji kasus-kasus yang ada, ada banyak sekali prespektif dari berbagai
ranah keilmuan. Ekonom akan memandang prostitusi sebagai sebuah pasar yang
memiliki sisi supply dan demand yang sangat unik dinamis. Antropolog akan
memandang kasus ini sebagai liberasi tubuh manusia akibat pergeseran kultur
masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin permisif. Lain dengan ahli
kesehatan yang memandang praktik prostitusi secara klinis terkait
penyakit-penyakit yang timbul akibat aktivitas ini. Perbedaan preskpektif ini
semakin membuat kajian akan praktik prostitusi semakin menarik.
Praktik prostitusi ternyata tidak hanya terjadi
di kawasan ibu kota saja, namun juga wilayah Bandung dan sekitarnya. Sebagai
salah satu kota yang memiliki banyak kampus ternama seperti Institut Teknologi
bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia dan berbagai
kampus lain ternyata menjadikan kawasan ini cukup ramai untuk dijadikan pasar
prostitusi. Mulai dari wilayah pinggiran seperti Dewi Sartika dan Saritem,
hingga tempat-tempat elite seprti cafe dan spa, bisnis eksploitasi tubuh ini
semakin menggurita dan menjerat berbagai kalangan masyarakat tak terkecuali
mahasiswa bahkan dosen. Fundamen ini kemudian menjadikan Kementerian Kajian dan Aksi
Strategis, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Padjadjaran mengadakan talkshow ilmiah yang khusus mengkaji praktik prostitusi
dari berbagai prespektif. Talkshow yang dinamakan “Benah Negeriku” ini
diselenggarakan pada tanggal 5 Mei lalu bertempat di Bale Rumawat, Universitas
Padjadjaran Dipati Ukur dan mengundang tiga narasumber yang telah kompeten
dalam bidang ini namun dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda. Ketiga
narasumber itu adalah Dr. Adiatma M. Sinegar selaku pakar ekonomi kesehatan,
Dadi Suhenda selaku antropolog dan Titeu Herawati selaku praktisi kesehatan
klinik mawar yang sering berkecimpung dalam penanganan kasus prostitusi di
wilayah Bandung.
Perbincangan dimulai dengan presentasi
dari Dr. Adiatma yang ciamik. Mengangkat hasil penelitian dari salah satu
muridnya bernama Parayil berjudul “Why work as female sex workers? : An
analysis of the related income and Expenditure”, kepala jurusan Ilmu Ekonomi Universitas
Padjadjaran ini menggiring audiens kepada suasana yang meriah terkait “dunia
hitam” ini. Di dalam analisis beliau sempat disinggung bahwa terdapat 21.200
Pekerja Seks Komersial (PSK) yang telah terdeteksi di Jawa Barat, dan seperti
yang kita ketahui fenomena sosial itu layaknya gunung es dimana kejadian-kejadian
yang tidak terdeteksi jauh lebih besar ketimbang kejadian yang terdeteksi.
Jumlah yang tinggi ini kemudian memberikan sebuah pertanyaan besar. Mangapa ada
banyak orang yang rela menjual harga dirinya dengan hina seperti ini?
Dr Adiatma M Siregar, Kepala Program Studi Ilmu Ekonomi S1 Universitas Padjadjaran |
Studi terkait fenomena prostitusi dapat
dikatakan rumit. Mendapatkan responden secara langung –baik itu PSK itu sendiri
atau calo dan mucikarin yang bertindak di baliknya, tidak semudah membalikan
telapak tangan. Banyak responden malu dan segan untuk dapat dimintai data
terkait perihal ini. Hal ini juga yang
membuat Parayil hanya mampu mendapatkan 52 responden PSK. Walau jumlah ini
tergolong sedikit, penelitian Parayil cukup merepresentatifkan kejadian di
lapangan.
Parayil mendapati bahwa umur rata-rata PSK
adalah 24 tahun –dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 42 tahun.
Dari keseluruhan, ternyata hanya 6% yang berasal dari bandung, sedang sisanya
merupakan warga non-Bandung. Dari bisnis prostitusi ini, rata-rata pendapatan kotor
yang dapat diperoleh adalah Rp 19.5 juta perbulan –dengan pendapatan terendah sebesar
Rp 1.6 juta dan pendapatan tertinggi sebesar 40 juta rupiah. Menurut Dr.
Adiatma, jumlah ini tergolong kecil ketimbang jumlah yang didapat oleh para PSK
yang bekerja di cafe atau spa yang dapat menarik gocek puluhan juta rupiah
sekali “beraksi”. Disamping semua itu, hal yang menarik lagi dari penelitian
ini adalah 42% dari responden ternyata “direstui” oleh orang tuanya! Temuan
yang luar biasa!
Dr Adiatma kemudian memberikan analisisnya
mengapa praktik prositusi sangat marak di tengah masyarakat. Menurutnya, semua
permasalahan ini ada karena adanya demand yang tak kunjung menyusut.
Permintaan akan PSK tetap pada level yang tinggi baik pada masyarakat
berpenghasilan tinggi maupun yang berpenghasilan rendah. Sesuai dengan hukum
ekonomi, adanya demand akan memicu adanya supply yang kemudian
akan menciptakan pasarnya tersendiri. Inilai yang menjadikan pasar prostitusi
masih terlihat segar bagi para supplier. Dengan demikian, memutus
kekuatan demand merupakan langkah yang tepat untuk benar-benar
memberantas kasus prostitusi. Hal ini pernah diterapkan dan berhasil mengurangi
tingkat prostitusi secara drastis di Swiss. Pemerintah Swiss tidak pernah
menutup atau berusaha menutup tempat-tempat lokalisasi. Alih-alih, pemerintah
memenjarakan siapa saja yang datang ke tempat lokalisasi. Usaha yang tepat
untuk memutus pasokan demand.
Sayangnya, kejadian di lapangan tidak
mendukung analisa ini. Pemerintah Indonesia lebih berfokus pada pada pemutusan supply
dengan menutup berbagai tempat lokalisasi. Langkah ini mungkin terdengar lebih
berani dan lebih “heroik” oleh masyarakat, namun yang terjadi menunjukan hal
yang sebaliknya. Ketika pemerintah menutup tempat-tempat lokalisasi, berbagai
pasar gelap prostitusi mulai bermunculan di mana-mana secara tidak terkontrol. Yang
lebih buruk lagi, pasar prostitusi kerap kali berpindah ke tempat-tempat yang tidak
seharusnya dihinggapi seperti kost-kost mahasiswa dan tempat-tempat terbuka.
Hal ini akan menimbulkan semakin rumitnya penangangan praktik prostitusi
kedepannya.
Terdapat sebuah pertanyaan menarik dari
salah satu audiens terkait demand PSK
di Indonesia. Mengutip dari anggitan Steven Levit & Stephen Dubner dalam
karyanya “Superfreakonomics”, disebutkan bahwa pasar prostitusi di Amerika semakin
kewalahan ketika muncul pasar baru yang lebih marak di kalangan remaja. Pasar
yang dimaksud di sini adalah freesex
–sebuah pasar dimana seseorang dapat menikmati seks secara gratis dari teman
dekatnya. Untuk apa seseorang mencari PSK jika dia dapat mengajak teman
dekatnya untuk berhubungan badan secara gratis? Lalu, apakah hal ini terjadi
juga di Indonesia khususnya di Bandung? Dr Adiatma mengutip salah satu
penelitian ilmiah terkait seks di kota Bandung yang berintikan “di Bandung,
mendapatkan PSK sama mudahnya seperti memesan makanan cepat saji.” Dari sini
dapat kita simpulkan bahwa tren freesex
ini sangat mungkin sekali muncul dan mengahancurkan pasar prostitusi di
Indonesia, terutama di Bandung. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.
Di atas semua itu, perbincangan mengenai
bisnis prostitusi tidak akan terlepas dengan bisnis-bisnis yang ada
disekitarnya. Perputaran uang di daerah-daerah lokalisasi sangatlah cepat.
Setiap malam saat bisnis ini berjalan, ada puluhan bisnis yang juga ikut
bergerak. Bisnis laundry, bisnis makanan, bisnis pelicin, dan lain-lain ikut
tumbuh dan hidup berdampingan dengan bisnis tubuh ini. Tidak sedikit masyarakat
sekitar yang akhirnya bersifat permisif kepada praktik prostitusi karena mereka
hidup dari uang-uang berputar disekitarnya.
Perbincangan berlanjut kepada narasumber
kedua yang tidak kalah menarik yang disajikan salah seorang antropolog yang
juga memiliki banyak pengalaman dalam gurita bisnis prostitusi di Bandung. Pria
bernama Dadi Suhenda ini mencoba mengupas praktik prostitusi melalui kacamata
sosial secara lebih luas. Beranjak dari akar permasalahan prostitusi –yang
tidak lain adalah gairah seksualitas manusia, Dadi secara perlahan membawa
audiens kepada praktik prostitusi melalui kerangka-kerangka ilmiah sosial
budaya.
Secara umum, perbincangan mengenai perilaku
seksual, seperti yang dikutip dari Aris Arif Mundayat, akan meliputi 7 hal
yaitu :
a.
Virginitas.
Virginitas dapat dikatakan hal yang tabu untuk dibicarakan di tengah masyarakat
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari presepsi masyarakat terkait kesakralan
seks dan penghargaan atas keperawanan itu sendiri.
b.
Komoditas
nafsu (Commodity of lust). Dewasa
ini, nafsu menjadi sebuah komoditas yang memiliki pasar tersendiri. Berbagai
macam hiburan semakin marak yang tidak lain hanya untuk memuaskan nafsu hewani
manusia (lust) yang di dalamnya
termasuk hubungan seksual. Tak ayal, seks pun akhirnya “diperdagangkan” dalam
bisnis prostitusi.
c.
Perkawinan
(moral sexuality) dan promiskuitas (profane sexuality). Seperti yang
disinggung sebelumnya, masyarakat Indonesia menjunjung tinggi kesakralan
hubungan badan antara dua insan. Kesakralan yang termanifestasi melalui
serangkaian upacara perkawinan ini ternyata kian tergerus. Seks semakin
kehilangan kesakralannya dan masyarakat semakin permisif akan hubungan seks
di luar nikah.
d.
Fungsi
kekerabatan. Aktivitas seksual manusia tidak lain merupakan hasrat yang timbul
akibat kebutuhan untuk menyambung keturunan. Hal ini kemudian menjadikan
pembahasan mengenai fungsi kekerabatan dan garis keturunan tidak dapat
ditampikan ketika berbicara mengenai perilaku seksual manusia
e.
Nilai
moral agama. Agama menjadi pagar yang menjadi pembatas nilai yang dianggap
benar oleh manusia dalam berperilaku, termasuk didalamnya adalah perilaku
seksual. Pagar inilah yang kemudian menjadikan perilaku seksual dapat
dikategorikan bermoral atau di luar batas moral.
f.
Wacana
patriaki. Sudah bukan rahasia lagi ketika berbicara mengenai prostitusi, maka
yang terbanyang di benak kebanyakan orang adalah dominasi pria atas wanita.
Wanita dianggap seakan-akan selalu menjadi korban atas pemaksaan laki-laki
dalam memenuhi hasratnya. Tak ayal hal ini menjadikan wacana patriaki cukup
menjadi sorotan dalam kegiatan seksual.
Ketujuh faktor diatas memuat dua inti
utama, yaitu perilaku seks secara legal melalui ikatan pernikahan dan di sisi
lain perilaku seks secara bebas. Dari sinilah mulai tersinggung istilah
prostitusi. Prostitusi itu sendiri dapat ddefinisikan sebagai hubungan seksual
yang terjadi dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Seseorang yang menjual jasa seksual disebut Wanita Pekerja Seks (WPS) atau
Pekerja Seks Komersial (PSK).
Terdapat beberapa faktor yang dianggap
sebagai faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk memasuki dunia prostitusi seperti
yang diungkapkan oleh kadir yaitu:
a.
Kemiskinan;
b.
Ketidakpuasan
terhadap pekerjaan yang ada;
c.
Tidak
mempunyai kecerdasan yang cukup untuk memasuki sektor formal;
d.
Ketidakutuhan
dalam kehidupan keluarga;
e.
Ketidakpuasan
dalam kehidupan seksual yang dimiliki; dan
f.
Memiliki
cacat badaniah
Pendapat lain yang cukup unik terkait
faktor penyebab munculnya pekerjaan ini disampaikan dalam buku berjudul “Tangan
Kuasa dalam Kelamin”, Telaah Homoseks, pekerja seks dan seks bebas di Indonesia.”
Dalam buku ini, di sebutkan bahwa revolusi hijau juga berperan dalam memicu
pertumbuhan praktik prostitusi. Kenapa hal ini bisa terjadi? Seperti yang
diketahui bersama bahwa revolusi hijau membawa tiga pokok perubahan yang
meliputi intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi sektor pertanian.
Dirapkan dengan adanya program ini, produksi hasil pertanian di Indonesia dapat
semakin meningkat dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga Indonesia. Namun,
disebutkan bahwa program ini juga membawa dampak buruk dalam beberapa sisi, yang
salah satunya adalah maraknya tenaga kerja wanita yang menganggur akibat
tergusur oleh mekanisasi di bidang pertanian. Tak ayal, kondisi ini menimbulkan
tekanan sosial yang cukup kuat terutama yang dialami oleh pihak wanita. Wanita
pun kemudian banyak yang berbondong-bondong memasuki lapangan pekerjaan lain.
Tidaklah menjadi masalah ketika wanita-wanita itu memiliki keahlian profesional
lain yang dapat membantu mereka, namun menjadi masalah pelik bagi para wanita
yang tidak memiliki keahlian lain selain kemampuan kasar mereka. Walhasil,
pasar PSK menjadi salah satu sasaran yang menarik bagi wanita-wanita golongan
ini.
Faktor sanjungan terhadap simbol-simbol
material dan permisifitas kultural juga menurut buku ini disinyalir sebagai
faktor pendorong munculnya praktik prostitusi. Simbol-simbol material disini
berkaitan erat dengan perubahan mode di tengah masyarakat baik berupa pakaian,
teknologi, transportasi dan semacamnya. Tak jarang mode ini menjadi “tuhan”
beberapa golongan masyarakat sehingga membuat mereka rela melakukan apapun
untuk mendapatkannya walau mendalami profesi PSK. Kultur masyarakat yang kian
permisif juga membuat praktik PSK semakin subur. Moral masyarakat semakin
terdegradasi dari zaman ke zaman sehingga merubah hal yang dahulu dianggap tabu
menjadi hal yang biasa saja, termasuk didalamnya praktik PSK.
Di luar semua itu, terdapat sebuah kasus
yang menarik terkait praktik prostitusi ini jika dikaitkan dengan aspek
kultural warga. Tersebutlah sebuah objek sejarah di Kabupaten Sragen bernama Gunung
Kemukus dimana terdapat makam Raden Samudro. Makam yang cukup keramat ini
menjadi salah satu sorotan menarik karena menarik banyak wisatawan yang mencari
peruntungan nasib. Yang menarik di sini ialah syarat yang diajukan berupa
“berbuat zina” kepada tujuh orang jika ingin hajatnya dikabulkan. Tak heran
gunung ini menjadi ladang prostitusi kultural akibat syarat yang absurd ini.
Walau pemerintah telah berusaha untuk melarang praktik tidak senonoh ini, di
kejadian lapangan membuktikan bahwa usaha ini tidak cukup berhasil. Masih ada
saja orang yang mengikuti ajaran absurd daerah Sumberlawang ini.
Gunung Kemukus, sebuah objek wisata sejarah di Sragen |
Lalu, bagaimana Dadi memberikan solusi
terkait permasalahan prostitusi ini? Pendidikan. Pendidikan seks perlu
ditanamkan sejak dini. Pendidikan seks bukan dimulai ketika anak telah mencapai
usia baligh, namun ketika anak telah menanyakan hal berbau seksual kepada orang
tua. Yang menjadi permasalahan di Indonesia, pendidikan seks selalu dianggap
hal yang tabu untuk dibicarakan di perbincangan formal. Orang tua maupun guru
banyak yang menghindarkan pembahasan ini kepada anak-anak. Anak-anak hanya
diajarkan fungsi biologis dari organ genital dan mengabaikan fungsi sosial dari
organ yang bersangkutan. Mereka diajarkan apa fungsi organ genital pria dan
wanita dengan detail namun tidak diajarkan bagaimana menempatkannya di
lingkungan sosial. Walhasil, anak-anak yang memiliki rasa keingintahuan yang
luar biasa besar mencoba menggalinya dari informan yang belum kredibel. Inilah
yang menjadi akar dari semua permasalahan seksual yang ada.
Perbincangan yang semakin memanas semakin berkobar
ketika pembicara ketiga memasuki podium. Selaku aktivis PKBI Jawa Barat yang
sudah sering menangani secara langsung praktik prostitusi, Titeu Herawati
semakin meriuhkan audiens. Pengalamannya selama kurang lebih 30 tahun sebagai
salah satu petugas Klinik Mawar (salah satu tempat rehabilitasi para pelaku
penyimpangan seksual baik prostitusi, homoseksual, atau bahkan waria) membuat
perbincangan pengenai praktik prostitusi semakin hidup.
Titeu mencoba mengangkat topik prostitusi
dengan menceritakan pengalaman-pengalamanya yang cukup creepy dalam dunia seksual di kota Bandung. Beliau menceritakan
bagaimana kondisi riil masyarakat di tempat-tempat lokalisasi seperti saritem
dan jalan Dewi Sartika. Menurut beliau, banyak PSK yang sebenarnya tidak ingin
menjadi PSK. Adalah hambatan ekonomis yang kerapkali mendorong banyak pihak
untuk terjun ke dalam bisnis gelap ini. Seperti yang dibahas di muka pula,
tidak jarang banyak orang tua yang “mengimpor” anak-anaknya untuk bekerja
sebagai PSK walau anak-anak itu dapat dikatakan belum cukup umur. Di salah satu
kesempatan, Titeu pernah menemui anak usia 18 tahun yang sudah diperkejakan
dengan paksa untuk menjanjakan tubuhnya. Lebih mengejutkan lagi bahwa anak ini
cukup “laris” di kalangan pelanggan. Tidak mengherankan karena para pelanggan
lebih menyukai PSK yang masih fresh.
Walhasil, anak ini dapat melayani sekitar 10 pelanggan perhari! Jumlah yang
mengejutkan bagi seorang anak usia 18 tahun. Anak ini pun tak jarang
mengeluhkan tentang kesakitan yang dialaminya di sekitar alat reproduksinya.
Hal ini tidaklah mengherankan melihat usianya yang masih belia namun harus
melayani sebegitu besar pelanggan yang datang.
Salah satu sudut di Saritem, tempat lokalisasi di Bandung |
Titeu kemudian meluaskan pembahasan
prostitusi tidak hanya kepada aktivitas heteroseksual saja. Aktivitas
prostitusi ternyata juga berkaitan dengan aktivitas homoseksual atau hubungan
sesama jenis. Aktivitas yang lebih dikenal dengan LSL atau “Lelaki Suka Lelaki”
ini ternyata memiliki tingkat yang tidak rendah. Terbukti dari data yang diambil dari SIPKBI, pada jumlah LSL
di Jawa Barat tahun 2015 yang terdeteksi sebanyak 74.354 –dan tentu saja,
sebagaimana fenomena sosial, jumlah ini hanya merupakan pucuk dari gunung es
yang memiliki dasar yang jauh lebih besar. Jumlah waria juga dapat dikatakan
masif. Dari sumber yang sama, jumlah waria di Jawa Barat yang terdeteksi
sebesar 3.694. Jika dibandingkan dengan jumlah Wanita Pekerja Seks (WPS) pada
tahun yang sama sejumlah 20.462, LSL dan waria tidak dapat diabaikan begitu
saja.
Melihat jumlah pasien yang mengunjungi
klinik Mawar untuk melakukan cek kesehatan HIV, ditemukan bahwa LSL dan WPS
menduduki peringkat teratas dengan presentase masing-masing sebesar 30.15% dan
32% dari total kunjungan sebanyak 1.987. Yang cukup mengejutkan dari hal ini
ialah ternyata kemungkinan HIV positif jauhlebih banyak dialami oleh LSL
ketimbang WSP. Data yang dikeluarkan dari PKBI menunjukan bahwa di tahun 2012,
2013, dan 2014, jumlah korban penderita HIV positif dari golongan LSL masing-masing
sebesar 47 (dari total 73), 41 (dari total 62), dan 58 (dari total 91). Jumlah ini
kurang lebih empat kali lipat dari jumlah WPS yang mengidap HIV positif yang masing-masing
berjumlah 12, 8, dan 16
.
LSL dan Waria binaan PKBI |
Di luar semua itu, terdapat satu bahasan
yang menarik juga mengenai mahasiswa pekerja seks atau lebih dikenal dengan ayam
kampus yang sempat ditanyakan salah satu audiens kepada Titeu. Seperti yang
diketahui bersama, pergerakan ayam kampus ini cenderung lebih tertutup dan
lebih susah ditemukan daripada prostitusi pada umumnya. Namun, hal itu tidak kemudian
menuntup kemungkinan keberadaan pasar ini di tengah masyarakat. Menurut Titeu,
fenomena ayam kampus ini kebanyakan disebabakan oleh kondisi finansial yang
dialami mahasiswa yang tidak cukup mengakomodir gaya hidup mahasiswa.
Sebenarnya, Titeu bersama rekan-rekannya
telah mencoba berbagai cara baik berupa sosialisasi saaver sex ataupun berupa empowerment
atau pemberdayaan wanita. Hasil yang didapatkan cukup memiliki efek besar. Tercatat,
sosialisasi penggunaan alat pengaman cukup berjalan efektif dengan adanya peningkata
kesadaran mengenakan kondom sebesar 80%. Dalam komunitas yang dibimbing oleh
Titeu dan rekan-rekanya juga telah terbentuk Peer Educator / pendidik sebaya, sehingga terinformasikannya layanan,
pendidikan kesehatan /kespro secara lebih luas. Dalam hal pemberdayaan, hasil
yang didapat juga cukup sukses. 30 orang
pekerja seks mendapatkan modal alih profesi bekerjasama Kemensos dan
kemudian menjadi role model dalam
perubahan prilaku.
Akhir kata, permasalahan prostitusi dapat
dikatakan hal yang rumit. Ketika berbicara mengenai bisnis nafsu ini, mau tidak
mau pasti akan menyinggung pasar raksasa dengan sisi demand yang terus eksis, aspek budaya masyarakat yang semakin
permisif, dan juga penyebaran penyakit menular seks seperti yang disinggung
dari ketiga pembicara dalam acara Benah Negeriku ini. Mungkin memang tidak ada
satu kebijakan khusus yang mampu secara efektif mengurangi atau bahkan
menghilangkan bisnis haram ini di tengah masyarakat. Memutus sisi demand? Kebijakan seperti ini yang pernah
dilakukang pemerintah Swiss pun tidak menjamin keberhasilan dalam mengurangi
prostitusi. Alih-alih, kebijakan ini dapat menimbulkan black market yang akan semakin sulit dilacak. Pendidikan? Mungkin
dapat diterapkan, namun mempertimbangkan sistem pendidikan di Indonesia yang
dapat dikatakan sedang sakit, kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri.
Pemberdayaan? Mungkin dapat berjalan lancar. Namun, apakah hal ini menjamin
para PSK mendapatkan gaji baru yang memadahi dari pada pekerjaan mereka
sebelumnya padahal pekerjaan baru yang mereka dapatkan lebih menguras keringat?
Pada titik ini, kita mendapati kesimpulan bahwa permasalahan ini tidak dapat
diselesaikan secara parsial. Kerangka kebijakan perlu dibuat matang-matang
dengan berbagi pertimbangan sisi positif dan negatif. Pemerintah pun tidak bisa
berjalan sendiri. Sudah saatnya setiap komponen masyarakat bersinergi dan
bersama-sama membenahi negeri yang sedang sakit ini. (zqt)
Comments
Post a Comment