Pengentasan Persoalan Agraria Perdesaan sebagai Manifestasi Ekonomi Kerakyatan

Pengentasan Persoalan Agraria Perdesaan sebagai Manifestasi Ekonomi Kerakyatan
(Hasil Kajian Terbaik Unpad dalam Kongres Forum Mahasiswa Ekonomi Indonesia, Semarang 2017 )
Hasil gambar untuk desa
“A nation will not survive morally or economically when so few have so much, while so many have so little” — Bernie Sanders
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sudah seharusnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan. Merupakan sebuah kesalahan fatal ketika sebuah negara mengejar pertumbuhan namun mengesampingkan upaya permasalahan kemiskinan sehingga jurang ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin melebar. Kondisi seperti ini akan membuat perekonomian semakin rentan dan pembangunan tidak berjalan secara berkelanjutan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ESCAP & UNDP (2003) yang menghitung elastisitas kemiskinan di sejumlah negara di Asia membuktikan bahwa pertumbuhan yang tinggi akan tidak banyak berarti bagi kaum miskin apabila distribusi pendapatan antara si kaya dan miskin pincang.


Sebuah penelitian dari Agusta (2014) dalam artikelnya yang berjudul “Pertumbuhan Pencipta Kemiskinan” menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia berkorelasi positif terhadap kemiskinan, sementara kemajuan inflasi berkaitan negatif dengan laju kenaikan garis kemiskinan atau kapasitas orang miskin. Dari penelitian ini didapatkan bahwa Walau ada beberapa penelitian yang menentang hal tersebut seperti penelitian dari Timmer, penelitian dari Agusta ini patut di perhatikan. Indonesia, sebagaimana juga terjadi pada negara sedang berkembang lain, agaknya terperangkap dalam jebakan ekonomi eksklusif. Pembangunan sektor sekunder, yaitu manufaktur, dan tersier, yaitu jasa, jauh lebih ditekankan ketimbang sektor primer seperti pertanian. Padahal, menurut studi dari Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data India, dihasilkan bahwa output di sektor-sektor primer, khususnya pertanian jauh lebih efektif dalam penurunan kemiskinan dibandingkan pertumbuhan output di sektor sekunder.
Latar Belakang
Mengenai ketimpangan Indonesia, terdapat data dari lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, yang mengungkap fakta mengejutkan. Survei itu menyebutkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49.3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini menyebabkan Indonesia duduk di peringkat ke 4 sebagai negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia dengan pendekatan model ini. Indonesia hanya berada di bawah Rusia, India dan Thailand melalui metode pengukuran yang sama. Jika ditinjau dari pendekatan lain, Yustika (2012) mengolah data pengeluaran dari BPS kemudian membaginya dalam 10 desil. Yustika pun menemukan angka-angka berikut: pengeluaran terendah kelompok pertama  dan kedua adalah masing-masing sekitar Rp 153.000 dan Rp204.000 per kapita per bulan, dan pada tahun 2010 tumbuh hanya sekitar masing-masing 9.08 persen dan 8.25 persen. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi adalah sekitar Rp1.48 juta dan Rp 768.000 per kapita per bulan, dan tumbuh pada tahun yang sama masing-masing 15.36 persen dan 18.77 persen. Struktur pertumbuhan ini menandakan bahwa kelompok masyarakat dengan pengeluaran besar menikmati laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan kelompok miskin, dan hal ini yang memperbesar ketimpangan Indonesia.
Ketimpangan pembangunan juga terjadi jika kita melihatnya dari sudut pandang daerah. Dengan menggunakan pendekatan indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2), didapati bahwa upaya pengentasan kemiskinan di perdesaan dan perkotaan masih timpang. Untuk diketahui bersama, Indeks kedalaman kemiskinan mengukur kedalaman kemiskinan atau intensitas kemiskinan yang menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin (garis kemiskinan yang berlaku). Sedangkan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin  jatuh di bawah garis kemiskinan yang berlaku. Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan di negeri tersebut .Pada bulan Maret 2013, nilai P1 di daerah perkotaan tercatat sebesar 1.25 dibandingkan di daerah perdesaan yang mencapai 2.24. Sedangkan nilai p2 di daerah perkotaan tercatat hanya 0.31 dibandingkan di daerah perdesaan dengan 0.56.
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang menjadikan ketimpangan tersebut terjadi? Diantara berbagai faktor yang menyebabkan jurang ketimpangan yang besar itu, aspek agraria manjadi salah satu poin yang perlu digarisbawahi.
Rapuhnya Agraria
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Syofyan Jalil berkata bahwa terdapat 10,2 juta rakyat miskin yang tersebar di 25.863 desa di sekitar kawasan hutan, dan 71,6% di antaranya menggantungkan nasib pada sumber daya alam. Penduduk di kawasan hutan ini memiliki keterbatasan terhadap akses lahan garapannya dikarenakan tidak ada sertifikasi atas kepemilikian tanah tersebut. Dari anggitan lain, didapatkan pula bahwa dari 9.1 juta hektar kebun sawit Indonesia, keseluruhannya hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja. Begitu pula penguasaan hutan produksi yang sekitar 41 juta hektar hanya dikuasai oleh 366 perusahaan saja. Padahal di lain pihak, masih terdapat 22 juta rumah tangga petani Indonesia yang hanya memiliki 0.3 hektar saja.
Mengenai hal ini, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya berupa reforma agraria. Jokowi-JK dalam konsep Nawacita yang beliau usung dalam kampanye presiden secara jelas menjanjikan kebojakan ini dapat mengatasi permasalahan agraria masyarakat. Namun, melalui diskusi yang diselenggarakan KPA dan Bina Desa, terdapat tiga kelemahan dari program “reforma agraria” Jokowi-JK, yaitu orientasi, perencanaan dan strategi.
Berbagai literatur dari pakar agraria menunjukan bahwa orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hak kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Bung Karno berpendapat bahwa monopoli suber kesejahteraan rakyat tidak diperkenankan karena hal tersebut merupakan praktik kolonialisme dan inilah yang beliau tuangkan dalam UUPA 1960. Selain perombakan struktur, orientasi lain dari reforma agraria seharusnya mencangkup pengurangan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, mempertahankan sumber-sumber ekonomi, pengurangan sengketa, perbaikan kualitas hidup, hingga peningkatan ketahan pangan.
Namun, jika kita telusuri bersama dan dikontekstualisasikan pada “reforma agraria” yang dicanangkan oleh Jokowi-JK, maka orientasi tersebut menguap karena redistribusi 9 juta hektar lahan belum terindikasi mengarah pada perwujudan berbagai orientasi tersebut. Bahkan, reforma agraria Jokowi cenderung hanya sebagai program pengurangan angka kemiskinan konvensional, yakni dengan membagi tanah pada buruh tani dan tani gurem.
Selain orientasi, diskusi KPA pun menyoalkan terkait kaburnya perencanaan Jokowi guna mendorong perwujudan reforma agraria. Dalam konteks kebijakan, redistribusi 9 juta hektar tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni melanjutkan dari kebijakan pada era SBY, dimana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari target era sebelumnya. KPA mencatat, target redistribusi tanah era SBY terdiri dari 1 juta hektar tanah tanaman, 8.1 juta hektar hutan produksi dan 7 hektar tanah terlantar. Saat Jokowi-JK menetapkan 9 juta hektar, maka jumlah tersebut sudah termasuk dalam target dari kebijakan SBY yang belum rampung terlaksana. Proses penetapan objek-objek tanah yang prematur mengindikasikan bahwa perencanaan tidak matang. Ditambah, dalam hal kelembagaan, pemerintah Jokowi-JK terkesan tidak menggalang “koalisi pro-reform” dari berbagai kementerian terkait serta tidak melibatkan secara aktif dalam organisasi tani. Dampaknya, sebagian besar kementerian diluar kementerian ATR cenderung kontraproduktif dengan gagasan redistribusi. Bahkan, kementerian kehutanan merasa keberatan dilibatkan dalam proses implementasi dan menolak tanah hutan dijadikan salah satu objek redistribusi.
Selanjutnya, strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah era Jokowi-JK juga terkesan gamang. KPA melihat bahwa strategi yang pemerintah ajukan dalam kebijakan redistribusi 9 juta hektar cenderung mengulang strategi dari pemerintahan sebelumnya. Beberapa indikasi yang didapat antara seperti (1) penggunaan asumsi redistribusi yang sama layaknya era SBY (dimana redisribusi hanya dilaksanakan di atas tanah-tanah yang bebas konflik dan cenderung tidak merumuskan strategi penyelesaian konflik); (2) masih diadopsinya metode transmigrasi untuk menerapkan redistribusi bagi masyarakat di Jawa; (3) masih diberikannya hak-hak atas tanah pada PTPN, Perhutani atau perusahaan swaswa secara luas di Jawa; (4) belum digagasnya bank tanah maupun sertifikat komunal; (5) tidak terdapat strategi efektif dalam akurasi dan pemutakhiran data; (6) strategi implementasi masih cenderung sektoral dan reformis, dalam arti kelembagaan implementator belum lintas kementerian dan tidak melibatkan organiasi tani dan belum terdapat panitia ad hoc yang bertugas melaksanakan dan mengawal pelaksanaan redistribusi; dan (7) pendekatan agrobisnis yang masih digunakan dalam access reform.
Pendapat lain dikemukakan oleh Jenderal KPA, Dewi Kartika. Dia mengatakan bahwa reforma agraria di tangan Jokowi condong pada ego sektoral demi kepentingan sektor dan pihak tertentu, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perubahan swasta. Tambahnya, keinginan Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur juga dinilai sebagai bentuk ego sektoral yang semakin membuat upaya reforma agraria ini tersingkirkan. Sebab, pemerintah seakan mementingkan pengadaan lahan untuk infrastruktur, termasuk dengan cara menggusur masyarakat setempat. Ambil saja contoh pembangunan Bandar Udara Internasional Kertajati yang dilakukan di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Menurut Dwi, banyak proses penetapan objek pembangunan yang kemudian mengintimidasi desa dan rakyat kecil, termasuk petani.
Selain itu, perubahan aturan reforma agraria menjadi ke arah sektoral sejak rezim Soeharto hingga era Jokowi sekarang juga menjadi persoalan tersendiri. Menurutnya, munculnya undang-undang sektoral (yang merupakan turunan dari UUPA 1960) seperti UU Kehutanan & UU Pertambangan di era orde baru menghasilkan ego antar kementerian yang berlomba-lomba memenuhi kebutuhan lahannya masing-masing dan membuat aturan yang tumpang tindih. Dampaknya dinilai lebih parah. Reforma agraria hanya diartikan sebagai kebijakan redistribusi lahan dan legalisasi aset dengan torehan angka teknis mencapai sembilan juta hektar. Lebih jauh, dikhawatirkan bahwa tujuan reforma agraria mampu memecah ketimpangan bagi rakyat kecil tak pernah terwujud.
Ekonomi Kerakyatan?
Kondisi diatas tentu sangatlah bertentangan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang selama ini digaungkan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan (Marzuki, 1999). Adapun menurut ahli ekonomi kerakyatan di Indonesia, yaitu Prof. Murbayanti dari UGM dan Bapak Adi Sasono selaku mantab Menteri UMKM, disepakati bahwa istilah ekonomi kerakyatan berarti memberdayakan (kelompok/satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha yang dikelola oleh dan untuk sekelompok masyarakat banyak (rakyat).
Harapan dari ekonomi kerakyatan tentunya agar tercipta kesejahteraan ekonomi masyarakat secara menyeluruh, yaitu dengan memberdayakan masyarakat dari elemen terkecil, salah satu elemen tersebut berasal dari desa. Namun, bagaimana aspek tersebut terpenuhi jika masyarakat desa itu sendiri tidak memiliki hak atas tanah? Jika warga masih terjajah diatas tanah garapannya sendiri oleh korporat-korporat penguasa tanah, bagaimana mungkin pemerataan dapat terjadi dalam masyarakat?
Komparasi Penerapan Reforma Agraria
Menurut Institute for Development on Economic and Finance (Indef), ada 4 negara yang tergolong sukses menerapkan reforma agraria. Negara yang dimaksud adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia.
Menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Indef, model keberhasilan reforma agraria yang dilakukan Jepang tidak lepas dari strategi pemerintahannya dengan cara membeli lahan dari tuan tanah para feodal. Di samping itu, pemerintah Jepang juga menerapkan skema kredit jangka panjang bagi para petani. Pemerintah Jepang dalam implementasinya pun berperan sebagai pengawas yang aktif. Hal ini kemudian mendongkrak produktivitas lahan pada tahun 1952 sebeesar 50% dibanding sebelum perang dunia kedua.
Sementara di Taiwan, reforma agraria dilakukan dengan cara mengalihfungsikan lahan negara sebagai lahan pertanian. Kemudian, departemen pertanian dan kehutanan ditugaskan untuk mengimplementasikannya di lapangan. Para petani pun diberikan akses untuk memanfaatkan lahan dengan diberikan hak guna lahan dalam pencapaian sistem produksi. Hasil yang Taiwan raih pun luar biasa. Pemerintah berhasil membagikan tanah kepada 194.823 petani dimana 85 persen tanah reforma agraria merupakan tanah penghasil padi yang produktif.
Di Korea Selatan, Bhima mengatakan bahwa mereka mengakuisisi lahan perusahaan dan memberikan kompensasi bagi para pemilik lahan. Kementerian Pertanian dan Kehutanan juga sebagai pelaksana dan rumah tangga petani membeli lahan yang sudah diakuisisi oleh pemerintah melalui skema kredit. Hasilnya pun sangat luar biasa, sekitar 89 persen petani berhasil memiliki lahan produktif.
Adapun di Malaysia, Bhima mengatakan bahwa pemerintah membentuk Otoritas Pengelola Reforma Agraria yang bertugas untuk memastikan pengelolaan tanah hasil reforma agraria dapat berjalan dengan baik. Lembaga baru yang langsung berada di bawah presiden ini akan menyusun regulasi dan koordinasi instansi pemerintah agar program reforma agraria mudah di realisasikan. Lembaga ini, menurut Bhima, berfungsi sebagai bank tanah yang kemudian membagikannya kepada para petani untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan. Tidak sampai disitu, lembaga tersebut juga memainkan peran penting dalam pembangunan infrastuktur untuk membangun kawasan dan pengembangan ekonomi wilayah. Sehingga, reforma agraria tidak hanya berjalan di tempat tetapi juga dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi di masa mendatang.
Koperasi : Langkah Lebih Lanjut Penegakan Reforma Agraria
Isu penegakan agraria tidak hanya berhenti pada aspek penyelesaian konflik pembagian lahan saja, namun juga perlu diperhatikan aspek setelahnya; bagaimana agar perekonomian agraria masyarakat dapat terus membaik. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena permasalahan ketimpangan tentu tidak akan selesai hanya dengan penyelesaian pemnagian lahan saja. Lalu, dimakah letak fokus yang harus diberikan? Koperasi.

Pemberdayaan koperasi tentu menjadi fokus yang tidak dapat diabaikan. Berbeda dengan bentuk-bentuk usaha lainnya yang berorientasi pada profitabilitas, koperasi berjalan dengan nilai-nilai sosial. Koperasi menjadi manifestasi dari kegiatan ekonomi gotong royong yang dapat memperbaiki nasib penghidupan ekonomi masyarakat.

Hal ini tidak lepas dari hakikat koperasi itu sendiri yang menekankan pada people power. Koperasi menghimpun banyak tenaga kerja dan memberdayakan mereka. Kesejahteraan anggota menjadi fokus utama koperasi. Namun uniknya, koperasi menekankan pada kontribusi masing-masing anggotanya. Hal ini dapat dengan mudah jika menilik konsep Sisa Hasil Usaha yang membagi hasil kegiatan koperasi sesuai dengan kontribusi yang dilakukan seseorang. Hal ini tentulah menarik karena sangat mendukung implementasi konsep ekonomi kerakyatan di Indonesia.

Namun, apakah yang terjadi di lapangan? Kontribusi koperasi atas perekonomian sangat kecil. Menurut Bambang Brojonegoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kontribusi koperasi atas produk domestik bruto hanya sekitar 4 persen, angka yang sangat miris jika dibandingkan dengan koperasi di negara lain. Menurut data ICA 300 Global List, 48 koperasi terbesar di Prancis memberi kontribusi 16,2% terhadap PDB. Empat koperasi terbesar di Denmark menyumbang 8,2% terhadap PDB. Di Jerman, 26 koperasi terbesar menyumbang 6,07% terhadap PDB. Jepang memiliki induk koperasi terbesar di dunia, yaitu Zen-Noh, yang berhasil memasarkan hasil produksi jutaan anggotanya sekaligus meningkatkan efisiensi di sektor pertanian. Hal ini disinyalir karena lemahnya koperasi itu sendiri, mulai dari segi pengelolaan, finansial, hingga SDM. Tak ayal banyak yang mengatakan bahwa koperasi Indonesia bak hidup segan hidup tak mau.

Permasalahan sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep inkubator bisnis. Walau koperasi tentu berbeda dengan bentuk usaha lain, hakikat inkubator bisnis tetap relevan jika diterapkan dalam pengembangan koperasi.

Dalam bahasa kedokteran, inkubasi memiliki arti pematangan dari suatu gejala, baik gejala penyakit maupun tingkat pertumbuhan janin dalam rahim ibunya. Sering dijumpai di rumah sakit bersalin, bayi yang lahir prematur atau bayi dengan berat badan di bawah normal mendapat perlakuan khusus dari dokter dan perawat, misalnya diletakan dalam boks penghangat selama beberapa waktu sebagai pengganti proses alami seperti layaknya di rahim ibu. Perlakuan berbeda dari bayi yang lahir secara normal atau tanpa gangguan disebut inkubasi.

Dalam pendekatan ekonomi, inkubator bisnis berarti lembaga yang membantu wirausaha baru dalam memulai bisnisnya untuk meningkatkan prosepek perkembangan dan daya tahan, sehingga kelak dapat bertahan dalam lingkungan bisnis yang nyata. Secara sistemik, inkubator bisnis merupakan suatu wahana transformasi pembentukan sumberdaya manusia yang tidak atau kurang kreatif dan produktif menjadi sumberdaya manusia yang memiliki motiavasi wirausaha secara kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif sebagai langkah awal penciptaan wirausaha yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif serta memiliki visi dan misi.

Dalam kegiatannya, inkubator bisnis menyediakan lima “S”, yaitu
a.                   Service, yaitu memberikan bimbigan dan konsultasi manajemen seperti pemasaran, keuangan, produksi, teknologi, dan sebagainya;
b.                   Support, yaitu mendukung pengembangan usaha dan akses penggunaan teknologi;
c.                   Skill Development, yaitu melatih menyusun rencana usaha (business plan) dan pelatihan manajemen lainnya;
d.                   Seed Capital, yaitu menyediakan dana awal usaha serta upaya memperoleh akses permodalan kepada lembaga-lembaga keuangan, dan;
e.                   Synergy, yaitu menciptakan jaringan usaha lokal maupun internasional

Pendekatan inkubator bisnis ini seakan setali tiga uang, dapat menyelesaikan permasalah koperasi di Indonesia.
Selain konsep inkubator bisnis, kita bisa menerapkan strategi yang diterapkan di koperasi Nepal, dimana koperasi tersebut memberdayakan masyarakat lokal dalam operasionalnya. Permalahan dari masyarakat Nepal berkaitan dengan sumber daya manusia yang kurang karena kondisi Nepal lekat dengan permasalahan kemiskinan, dan guncangan politik. Salah satu strategi yang diterapkan untuk meningkatan kualitas SDM menggunakan mentor dan volunteer. Apabila mentor dan volunteer  diterapkan di koperasi Indonesia, maka mentor itu bisa dari pihak akademisi, misallkan dosen, dan volunteer, misalkan mahasiswa dalam rangka  pengabdian masyarakat. Pengabdian tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas koperasi menggunakan mentor, baik dengan meningkatkan kualitas SDM masyarakat lokal atau volunteer.
Kesimpulan
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat permasalahan dasar dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yakni pemerataan. Didapati bahwa kondisi ketimpangan Indonesia dalam kondisi yang tidak dapat diabaikan bersama. Jika ditelusuri lebih lanjut, adalah ketimpangan antara desa dan kota yang berada dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu faktor penyebabnya adalah permasalahan agraria; kepemilikan lahan masih didominasi oleh kaum-kaum korporat yang semakin memperburuk kondisi pemerataan ekonomi nasional. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya telah melakukan beberapa upaya, salah satuya adalah program reforma agraria yang diusung Jokowi dalam konsep Nawacita yang Jokowi bawa. Namun sayang, reforma agraria itu agaknya belum berjalan dengan baik.
Point Rekomendasi
  1. Menuntut pemerintah untuk tegas dalam menetapkan orientasi, perencanaan dan strategi dalam implementasi reforma agraria. Seperti yang disebutkan sebelumnya, reforma agraria Jokowi masih kabur dalam hal orientasi, perencananan, dan strategi pelaksanannya; orientasi dinilai tidak sejalan dengan hakikat reforma agraria itu sendiri, perencanaan yang dinilai tidak matang dan terkesan sama dengan era pemerintahan sebelumnya, dan strategi pelaksanaan yang juga tidak ada ubahnya dengan era pemerintahan sebelumnya, padahal telah diketahui bersama bahwa pada era pemerintahan sebelumnya reforma agraria tidak berjalan dengan baik.
  2. Menuntut pemerintah untuk membentuk lembaga khusus yang mengurusi pelaksanaan reforma agraria dari tingkat pusat sampai tingkat daerah terkecil, misalnya desa. Keberhasilan Malaysia dalam menerapkan kebijakan reforma agraria tak lepas dari kehadiran lembaga The Federal Land Development Authority (Felda) yang bertugas sebagai bak tanah; Felda membagikan tanah yang diberikan oleh pemerintahan Malaysia serta membangun wilayah perdesaan dalam segi infrastruktur dan ekonomi wilayah. Adapun kealpaan lembaga yang mengurusi pelaksanaan reforma agraria di Amerika Selatan, seperti El Savador dan Peru, juga disinyalir menjadi alasan kegagalan reforma agraria di wilayah tersebut.
  3. Menuntut pemerintah untuk mengembangkan lembaga pengelolaan agraria, yakni koperasi. Penegakan reforma agraria perlu diperhatikan juga aspek pasca penyelesaian konflik pembagian tanah. Fokus untuk mengembangkan koperasi sebagai pengelola hasil agraria perlu dibangun dari sekarang.

REFERENSI
Agustina, Tri S. 2011. “Peran Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi dalam Meminimalkan Resiko Kegagalan bagi Wirausaha Baru pada Tahap Awal (Start-Up)”. Majalah Ekonomi Universitas Airlangga Tahun XXI, No 1 April 2011
Ant. 2017. “Waduh, Kontribusi Koperasi ke PDB Cuma 4%”. Berita Daring Okezone edisi 31 Juli 2017, diakses dari https://economy.okezone.com/read/2017/07/31/20/1747072/waduh-kontribusi-koperasi-ke-pdb-cuma-4
Anwar, Diding S. 2017. “Spirit Koperasi dengan peran Penjaminan”. Infobanknews Agustus 2017. Diakses dari http://infobanknews.com/spirit-koperasi-dengan-peran-penjaminan/
Fauzie, Yulli Yanna. 2017. “Reforma Agraria ala Jokowi Kian Jauh dari Pemikiran Sukarno”. Berita Daring CNN Indonesia, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170924172659-20-243684/reforma-agraria-ala-jokowi-kian-jauh-dari-pemikiran-sukarno/
Konsorsium Pembangunan Agraria. 2015. “Menyoal ‘Reforma Agraria’ Jokowi-JK”. Laman resmi Konsorsium Pembangunan Agraria, diakses dari https://www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/
Kabar Bisnis. 2017. “Jalankan Reforma Agraria, RI Perlu Belajar dari Empat Negara Ini”, Kabar Bisnis edisi 4 Mei 2017, diakses dari http://www.kabarbisnis.com/read/2875678/jalankan-reforma-agraria--ri-perlu-belajar-dari-empat-negara-ini
Tambunan, Tulus, 2016, Pembangunan Ekonomi Inklusif : Sudah Sejauh Mana Indonesia? (Jakarta, LP3S)
Hartono, Rudi. 2011. “UUPA 1960 Sebagai Turunan Pasal 33 UUD 1945”, Berdikari Online 16 Juli 2011, diakses dari http://www.berdikarionline.com/uupa-1960-adalah-turunan-pasal-33-uud-1945/
Hukum Online. 2017. “Jalankan Reforma Agraria, Indonesia Butuh Lembaga Khusus?”. Laman Hukum Online, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt590b13f9baac9/jalankan-reforma-agraria--indonesia-butuh-lembaga-khusus
Nirmala, Nur Indah. 2017. “Analisis Pengaruh Ekonomi Kerakyatan terhadap PDRB di Jawa Timur”, Tugas Akhir Departemen Statistika Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Widyanita. 2017. “Ketimpangan Ekonomi Indonesia Peringkat 4”. Infografis Kata Data, diakses dari https://katadata.co.id/infografik/2017/01/15/ketimpangan-ekonomi-indonesia-peringkat-4

Comments

Popular Posts